Sunday, October 21, 2007

Kakek Sepuhku Bersama Tokoh Nasional era Soekarno

Refleksi 7 Tahun Millenium Declaration


Refleksi 7 Tahun Millenium Declaration
Penguatan Peran Partai Politik dalam Keberhasilan MDGs
Oleh:
Achmad Ubaidillah, S. Hum

MDGs atau Millennium Development Goals merupakan proyek kemanusiaan yang disepakati para anggota PBB termasuk Indonesia pada bulan September 7 tahun lalu di KTT global yang melahirkan Millennium Declaration, inisiatif global mengurangi jumlah orang miskin di dunia menjadi separuhnya pada tahun 2015. Delapan tujuan MDGs yang harus dicapai oleh negara-negara berkembang dan negara-negara maju ini antara lain memberantas kemiskinan dan kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar bagi semua, mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain, menjamin kelestarian lingkungan serta mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Upaya masyarakat internasional untuk mencapai MDGs pada tahun 2015 menyegarkan kembali gagasan jebakan kemiskinan (poverty trap), sebuah ide yang populer pada tahun 1950-an. Gagasan tersebut terutama dikembangkan oleh Jeffrey Sachs, Penasihat Khusus Sekjen PBB Kofi Annan. Ide itu menyatakan negara-negara berkembang terperangkap dalam jebakan kemiskinan, karena itu membutuhkan big push dalam wujud bantuan luar negeri (foreign aid) dan investasi untuk dapat take-off dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapitanya dan tingkat kehidupan yang lebih baik (Fabby Tumiwa, 2005). Meskipun dalam praktiknya, sebagaimana kritik tajam dari kalangan masyarakat sipil dunia, tidak satupun di antara negara-negara kaya dan kuat khususnya yang tergabung di kelompok G8 yang telah memenuhi komitmen jangka panjang menyumbangkan 0,7% dari jumlah GDP mereka guna mendukung pembangunan di negara-negara miskin dan berkembang. Komitmen rendah itu telah mendorong Global Call to Action Against Poverty (GCAP), sebuah aliansi Organisasi Masyarakat Sipil Internasional yang bertujuan mendorong pemimpin dunia memenuhi janji mereka, menjuluki MDGs sebagai 'Minimalist Development Goals' (Down to Earth Nr. 67, November 2005). Padahal sebagai penerima bagian terbesar dari pendapatan dunia negara-negara kaya seharusnya mengalokasikan bantuan lebih besar bagi negara-negara berkembang untuk mencapai MDGs.

Sejak dideklarasikan tahun 2000, capaian MDGs memang tidak semulus yang diinginkan. Kesenjangan di tingkat global dan dalam suatu negara masih saja terjadi dan menjadi faktor penghambat pencapaian MDGs.
Kemunduran dalam pencapaian MDGs juga dialami oleh Indonesia. Laporan A Future Within Reach (2006) menempatkan Indonesia di kelompok terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina (Kompas, 3/3/2007). Mundurnya Indonesia dalam capaian MDGs dapat dilihat pada buramnya potret kesejahteraan masyarakat. Angka kemiskinan, misalnya, bertambah dari 15,97 persen (Februari 2005) menjadi 17,75 persen (Maret 2006) (BPS, 2006). Ratusan ribu prasarana pendidikan yang rusak, di Jawa Barat ada 58.511 ruang kelas, Sumatera Selatan 88.000 ruang kelas, Jawa Tengah 2000 ruang kelas, dll (Kompas, Agustus/12/2007). Erna Witoelar yang memperoleh kepercayaan menjadi Special Ambassador United Nation sehubungan dengan agenda MDGs mengatakan kemunduran Indonesia dan sejumlah negara lain itu terkait dengan konflik politik dan bencana alam yang diakibatkan oleh kerusakan ekologis. Menurutnya, konflik politik menarik mundur upaya pemerintah dalam memerangi kemiskinan serta mengalihkan perhatian pemerintah sehingga masalah sosial yang dihadapi masyarakat miskin menjadi terbengkalai (Antara News, 20/04/2007). Senada dengan pernyataan Erna, William Easterly, guru besar ekonomi dari New York University dan mantan ekonom Bank Dunia menyebutkan, masalah di negara-negara miskin dan berkembang acapkali berakar dalam institusi di negara mereka sendiri, dimana politisi dan pelayan publik tidak bertanggung jawab kepada warga negaranya. Padahal - meminjam Erna - tata pemerintahan yang baik sangat penting untuk penanggulangan kemiskinan.

Penyelesaian problem kemiskinan tentunya dapat tercapai dan dipenuhi dari anggaran pemerintah baik melalui APBN maupun APBD. Kompleksitas problem kemiskinan dan pemiskinan di Indonesia, sangat terkait erat dengan isu-isu sosial seperti rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau rakyat miskin, kerusakan lingkungan hidup, meningkatnya angka penderita HIV/AIDS, serta kematian ibu dan balita. (Antara News, 20/04/2007). Namun, kondisi ini seringkali diperparah dengan kenyataan bahwa negara berkembang dengan potensi pasar luas seperti Indonesia sering ditekan lembaga multilateral (terutama WTO, IMF, dan Bank Dunia) serta negara adidaya (khususnya AS) untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi berdampak pada anjloknya tingkat upah dan meningkatnya PHK yang berarti meningkatnya jumlah orang miskin (Ivan Hadar, 2007). Di tambah lagi dengan bukti terdahulu yang dilaporkan PBB (UNDP, 1999), bahwa ketimpangan antara orang miskin dan kaya di dalam negara atau antar negara sangat cepat meluas disebabkan oleh sistem perdagangan dan keuangan global.

Fakta-fakta tersebut memperlihatkan betapa pentingnya upaya nasional yang melibatkan seluruh elemen penyelengara negara dan masyarakat, tidak terkecuali partai politik untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik.
Peran partai politik menjadi sangat penting mengingat keberadaan mereka sebagai pilar negara, turut menentukan keberhasilan agenda besar pembangunan bangsa sekaligus diharapkan menjadi problem solver berbagai persoalan yang melilit bangsa. Penguatan peran partai politik dalam keberhasilan MDGs sangat ditentukan oleh besarnya komitmen elit partai dalam menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi dan hak asasi manusia serta menciptakan iklim yang kondusif untuk menyejahterakan masyarakat. Elit partai juga harus menunjukan komitmen luhurnya menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara yang berpihak kepada masyarakat.

Prasyarat ini penting dilakukan. I
nvestasi dan strategi yang hati-hati - meminjam Messner dan Wolff (the MDGs, Thinking Beyond the Sachs Report, 2005) - hanya dapat berhasil apabila para elite di negara berkembang berkomitmen kepada diri mereka sendiri dengan melaksanakan prinsip good governance. Model investasi untuk memberdayakan orang miskin di setiap negara selain didasarkan pada kebijakan ekonomi dan sosial, juga bergantung pada strategi-strategi untuk mengembangkan atau memperkuat institusi MDGs yang relevan. Konsisten pada upaya antikorupsi, investasi penguatan dan peningkatan efektitivitas administrasi publik, pelaksanaan aturan hukum, transparansi dan akuntabilitas dalam bisnis dan politik serta upaya memperkuat hak asasi manusia adalah kunci membangun strategi pencapaian MDGs. Disinilah momentum penting bagi partai politik memainkan peran dan fungsi strategisnya dalam keberhasilan MDGs dengan memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada upaya-upaya sistematis menyelesaikan berbagai problem sosial - kemanusiaan seperti halnya termuat dalam delapan goals MDGs.. Sudah saatnya elit partai meninggalkan budaya politik yang sarat dengan perilaku politik pragmatis yang gemar mengumbar libido kekuasaan. Sehingga mampu memaksimalkan perannya dalam mendorong investasi riil dan meminimalkan spekulasi keuangan, mendukung swasembada dan kemandirian lokal ketimbang terus menerus menciptakan ketergantungan global. Pemerintah harus didorong untuk menekan berbagai kepentingan lembaga keuangan dan korporasi-korporasi global sehingga tunduk, bertanggungjawab terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai demokratis. Tataran-tataran nilai yang dimulai dari demokrasi, keadilan, transparansi, keberlanjutan lingkungan hidup dan subsidiaritas yang kesemuanya itu menunjukan keberpihakan kepada kaum miskin, hak-hak asasi manusia serta kelestarian planet bumi ketimbang hak-hak dan keuntungan korporasi besar yang terus berkepentingan memijakan modalnya di tanah air tercinta.

Pentingnya Etika Agama di Ranah Politik Indonesia


Pentingnya Etika Agama di Ranah Politik Indonesia

Oleh:

Achmad Ubaidillah, S. Hum

Dewasa ini begitu semarak kajian ilmiah yang menyoroti dan menganalisis agama dari berbagai aspek tertentu. Dimulai dari kajian keagamaan (religious studies) yang dilakukan Stark dan Glock yang mengkaji dimensi-dimensi keberagamaan; Geertz meninjau agama sebagai sistem budaya; Alfort tentang agama dan politik; Durkheim dan Weber yang memaparkan peran dan posisi agama dalam masyarakat dan masih banyak kajian lain terkait dengan kajian keagamaan dari berbagai perspektif yang berbeda-beda (Mahmud Sujhuti, 2001). Dari sekian banyak kajian dengan ruang lingkup dan perspektif yang amat luas, penulis ingin mengetengahkan pemikiran mengenai pentingnya etika agama (baca: Islam) di ranah politik Indonesia. Pemikiran ini bertolak dari kategorisasi pemikiran yang pernah dirumuskan oleh Dr. Soedjatmoko berdasarkan pandangan para cendekiawan mengenai tanggungjawab dan fungsi agama sebagai landasan spiritual, etik dan moral bagi pembangunan umat manusia. Seperti halnya pernyataan terkemuka dari Daniel Bell yang menyebutkan besarnya daya responsi agama secara moral terhadap persoalan-persoalan modern dewasa ini. Hal ini menguatkan pandangan tentang peran dan posisi strategis agama sebagai jalan keluar untuk menyelamatkan manusia dan peradabannya dari kerapuhan tatanan dunia sebagaimana pernah diungkapkan Arnold Toynbee dalam A Study of History (Ibid, 2001).

Namun, pada kenyataan historis, agama di Indonesia belum sepenuhnya berhasil mengaktualisasikan potensi profetiknya untuk perubahan yang signifikan. Kenyataan ini lebih disebabkan karena agama dalam perlakuan umum masyarakat masih diposisikan sebagai sacramental religion yakni corak keberagamaan yang bersifat ritualistik-spiritualistik. Padahal, Islam juga merupakan agama etik (ethical religion) yang berorientasi pada pengembangan etika dalam arti yang seluas-luasnya atau apa yang disebut dalam Islam dengan akhlak. Akhlak yang mengandung konotasi etik dan etos sekaligus, sehingga keberagamaan tertinggi, dengan demikian akan terukur pula dari sudut derajat manifestasi etika dan etos dalam kehidupan seorang muslim (Syamsuddin, 2001). Paradigma etik dan moral inilah yang selanjutnya akan menjadi landasan kebudayaan termasuk dalam setiap perilaku di ranah politik Indonesia yang sejatinya dipenuhi semangat mencerahkan, membimbing dan mengarahkan setiap proses politik menuju perwujudan politik yang menghargai martabat manusia dan kemanusiaan.

Paradigma semacam ini tentu berseberangan ekstrim dengan pemikiran politik Machiavellian yang memandang politik tidak terkait dengan urusan moral sebagaimana rumusannya yang terkenal Politic has no relation to moral. Meskipun dalam praktiknya, perpolitikan sungguhpun terkait usaha yang mulia memperjuangkan kesejahteraan umum, memajukan masyarakat dan melaksanakan keadilan, kerapkali jatuh pada cara-cara yang menghalalkan segala cara. Ini disebabkan - sebagaimana pernyataan Haryanto - landasan moral, nilai-nilai, hati nurani, seringkali tidak menjadi perhitungan dalam langkah-langkah politik (Haryanto, 1997). Berbagai kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) baik tindakan KKN yang berakibat terampasnya hak-hak politik dan ekonomi rakyat, pertentangan antar elit demi dan atas nama kepentingan politik dan kekuasaan kelompok serta berbagai tindakan serupa lainnya seolah menjadi hal biasa yang dapat disaksikan publik melalui berbagai media akhir-akhir ini. Kenyataan ini semakin menguatkan aksioma Lord Acton, “power tends to corrupt but absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut).

Sejalan dengan pandangan Haryanto, Sobary dalam tulisannya Superego dalam Kehidupan Politik menyatakan pandangannya mengenai fenomena politik Indonesia. Menurutnya, politik kita sekarang keras dan galak, karena ia dibangun di atas logika kekuasaan dan kekuasaan akan cenderung beroperasi demi kekuasaan sendiri. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam situasi seperti itu, politik – apalagi yang adil, jujur dan berwawasan kemanusiaan – tak mungkin berani tampil untuk mengatur tata kehidupan yang lebih terbuka, lebih baik dan berorientasi pada kebutuhan rakyat. Ia sebaliknya akan lebih tunduk dan melayani selera kekuasaan. Inilah warna politik tanpa hati nurani yang berjalan tanpa kendali. Kendali inilah yang membantu kita untuk gigih mengajukan pertanyaan moral dalam politik: kapan kekuasaan menampilkan dimensi politik yang mengatur, dan bukan mendominasi dan kapan pula superego – nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan kebenaran – bertahta sederajat mahkota Baginda (Sobary, 2003).

Disinilah momentum penting bagi penegasan kembali fungsi kritis agama dalam mengevaluasi posisi manusia dalam sistem politik, mengaplikasikan moralitas politik sekaligus mendudukkan peran agama secara fungsional dalam melaksanakan fungsi kritis mengendalikan kehidupan politik menuju kehidupan politik yang bermoral dan manusiawi (Said Tuheley (ed.), 2003). Jika upaya tersebut berhasil dilakukan maka operasionalisasi agama sebagai sistem keyakinan yang dapat menjadi bagian atau inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam masyarakat bersangkutan dan menjadi pendorong, penggerak serta pengontrol untuk anggota-anggotanya untuk tetap berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran agamanya berlangsung dengan baik.

Dalam konteks tersebut, agama – sebagaimana pendapat Syamsuddin – dalam kaitan dengan politik bersifat simbiotik, yakni keduanya saling memerlukan. Simbiosisme agama dan politik, dengan demikian mengandung arti bahwa perjuangan dalam bidang politik adalah untuk mengalokasikan etika dan moralitas agama kedalam proses politik yang ada pada suatu bangsa dalam rangka mencapai tujuan nasional bangsa tersebut (Syamsuddin, 2003). Pemikiran mengenai pentingnya etika agama di ranah politik Indonesia dengan mengetengahkan simbiosisme agama dan politik merupakan upaya merefleksikan cara pandang terhadap posisi agama dan politik dengan menggunakan pendekatan substansialistik yang tidak mempersoalkan bagaimana bentuk atau format dari sebuah negara tetapi lebih memusatkan perhatian kepada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama.

Jauh sebelum lahirnya pandangan tersebut, ada pula para pemikir Islam di era lampau yang dikategorikan berada dalam paradigma yang menyatakan agama dan politik (baca: negara) sebagai suatu yang saling terkait dan berhubungan (simbiotik) antar lain: Ibnu Taimiyah, Al-Mawardi dan Al-Ghozali. Keterkaitan ini didasarkan pada argumen bahwa negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral dan begitu pula sebaliknya (Romli, 2006). Pencarian filosofis akan watak dari paradigma semacam ini sebenarnya pernah juga dilakukan sekelompok filosof bawah tanah yang dikenal dengan sebutan “akhwan al-Safa” yang mengetengahkan prinsip-prinsip masyarakat utama yang dipandang sebagai tujuan akhir dari rezim politik dimana politik harus diselenggarakan dengan dan bermuara pada etika (akhlak). Karena menurut mereka akhlak adalah politik kejiwaan (siyasat al-nafs) yang merupakan landasan bagi semua politik. Konsep masyarakat utama ini – meminjam Syamsuddin – merupakan elaborasi mendalam untuk mengikuti dan mengembangkan konsep madinah yang pernah diterapkan Rasulullah yang kini identik dengan konsep “masyarakat madani”. Suatu masyarakat yang ditandai adanya sistem sosial yang dibangun di atas fondasi sosial yang kokoh dan etis di satu sisi dan fondasi politik yang adil dan demokratis di sisi yang lain. Oleh karena itu, meskipun madinah merupakan model yang baik yang mengandung nilai-nilai ideal pada masanya di abad ke-7, namun, nilai-nilai luhur tersebut tetap memiliki relevansi untuk terus diaktualisasi dan dikontekstualisasi dalam kehidupan politik Indonesia di abad 21. Dengan ini kita sadar, betapa pentingnya membangkitkan kembali dan menerapkan etika agama di ranah politik Indonesia dengan segala dinamika dan kompleksitas permasalahannya.


Wednesday, October 3, 2007

Foto Bersama Mohammad Sobary, Jakarta


Foto Bersama Gus Dur, Kantor PBNU Jakarta


Foto bersama Diplomat Indonesia di Bangkok


Pusat Kota Ho Chi Minh City, Vietnam

Di sudut kota Singapura

Makan di Pinggir Sungai Mekong, Laos


Manado, Sulawesi Utara

Menikmati Perjalanan Kereta Vietnam


Ho Chi Minh City, Vietnam

Petronas, Malaysia


Di Monumen Killing Field Pol Pot, Kamboja

Di KBRI, Bangkok, Thailand


Di Pemakaman Seam Reap, Kamboja

Kuala Lumpur


Di Depan Istana Presiden Laos


Angkor Wat, Kamboja


Pattaya, Thailand

Jalan-Jalan Ke Pattaya, Thailand




Nongkrong di Orchad Road, Singapura

Ngobrol serius dengan Aktivis Demokrasi Burma


Di sudut Kota Hanoi, Vietnam

Foto di Dekat Mbah Vladimir Ilich Lenin


Foto Bareng Polisi Vietnam

Saya sedang di Makam Ho Chi Minh







Di Ho Chi Minh City, Vietnam




Makan di Lau Pa Sat Singapura


Tuesday, October 2, 2007