Refleksi 7 Tahun Millenium Declaration
Penguatan Peran Partai Politik dalam Keberhasilan MDGs
Oleh:
Achmad Ubaidillah, S. Hum
Penguatan Peran Partai Politik dalam Keberhasilan MDGs
Oleh:
Achmad Ubaidillah, S. Hum
MDGs atau Millennium Development Goals merupakan proyek kemanusiaan yang disepakati para anggota PBB termasuk Indonesia pada bulan September 7 tahun lalu di KTT global yang melahirkan Millennium Declaration, inisiatif global mengurangi jumlah orang miskin di dunia menjadi separuhnya pada tahun 2015. Delapan tujuan MDGs yang harus dicapai oleh negara-negara berkembang dan negara-negara maju ini antara lain memberantas kemiskinan dan kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar bagi semua, mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain, menjamin kelestarian lingkungan serta mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Upaya masyarakat internasional untuk mencapai MDGs pada tahun 2015 menyegarkan kembali gagasan jebakan kemiskinan (poverty trap), sebuah ide yang populer pada tahun 1950-an. Gagasan tersebut terutama dikembangkan oleh Jeffrey Sachs, Penasihat Khusus Sekjen PBB Kofi Annan. Ide itu menyatakan negara-negara berkembang terperangkap dalam jebakan kemiskinan, karena itu membutuhkan big push dalam wujud bantuan luar negeri (foreign aid) dan investasi untuk dapat take-off dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapitanya dan tingkat kehidupan yang lebih baik (Fabby Tumiwa, 2005). Meskipun dalam praktiknya, sebagaimana kritik tajam dari kalangan masyarakat sipil dunia, tidak satupun di antara negara-negara kaya dan kuat khususnya yang tergabung di kelompok G8 yang telah memenuhi komitmen jangka panjang menyumbangkan 0,7% dari jumlah GDP mereka guna mendukung pembangunan di negara-negara miskin dan berkembang. Komitmen rendah itu telah mendorong Global Call to Action Against Poverty (GCAP), sebuah aliansi Organisasi Masyarakat Sipil Internasional yang bertujuan mendorong pemimpin dunia memenuhi janji mereka, menjuluki MDGs sebagai 'Minimalist Development Goals' (Down to Earth Nr. 67, November 2005). Padahal sebagai penerima bagian terbesar dari pendapatan dunia negara-negara kaya seharusnya mengalokasikan bantuan lebih besar bagi negara-negara berkembang untuk mencapai MDGs.
Sejak dideklarasikan tahun 2000, capaian MDGs memang tidak semulus yang diinginkan. Kesenjangan di tingkat global dan dalam suatu negara masih saja terjadi dan menjadi faktor penghambat pencapaian MDGs. Kemunduran dalam pencapaian MDGs juga dialami olehIndonesia . Laporan A Future Within Reach (2006) menempatkan Indonesia di kelompok terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina (Kompas, 3/3/2007). Mundurnya Indonesia dalam capaian MDGs dapat dilihat pada buramnya potret kesejahteraan masyarakat. Angka kemiskinan, misalnya, bertambah dari 15,97 persen (Februari 2005) menjadi 17,75 persen (Maret 2006) (BPS, 2006). Ratusan ribu prasarana pendidikan yang rusak, di Jawa Barat ada 58.511 ruang kelas, Sumatera Selatan 88.000 ruang kelas, Jawa Tengah 2000 ruang kelas, dll (Kompas, Agustus/12/2007). Erna Witoelar yang memperoleh kepercayaan menjadi Special Ambassador United Nation sehubungan dengan agenda MDGs mengatakan kemunduran Indonesia dan sejumlah negara lain itu terkait dengan konflik politik dan bencana alam yang diakibatkan oleh kerusakan ekologis. Menurutnya, konflik politik menarik mundur upaya pemerintah dalam memerangi kemiskinan serta mengalihkan perhatian pemerintah sehingga masalah sosial yang dihadapi masyarakat miskin menjadi terbengkalai (Antara News, 20/04/2007). Senada dengan pernyataan Erna, William Easterly, guru besar ekonomi dari New York University dan mantan ekonom Bank Dunia menyebutkan, masalah di negara-negara miskin dan berkembang acapkali berakar dalam institusi di negara mereka sendiri, dimana politisi dan pelayan publik tidak bertanggung jawab kepada warga negaranya. Padahal - meminjam Erna - tata pemerintahan yang baik sangat penting untuk penanggulangan kemiskinan.
Penyelesaian problem kemiskinan tentunya dapat tercapai dan dipenuhi dari anggaran pemerintah baik melalui APBN maupun APBD. Kompleksitas problem kemiskinan dan pemiskinan di Indonesia, sangat terkait erat dengan isu-isu sosial seperti rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau rakyat miskin, kerusakan lingkungan hidup, meningkatnya angka penderita HIV/AIDS, serta kematian ibu dan balita. (Antara News, 20/04/2007). Namun, kondisi ini seringkali diperparah dengan kenyataan bahwa negara berkembang dengan potensi pasar luas sepertiIndonesia sering ditekan lembaga multilateral (terutama WTO, IMF, dan Bank Dunia) serta negara adidaya (khususnya AS) untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi berdampak pada anjloknya tingkat upah dan meningkatnya PHK yang berarti meningkatnya jumlah orang miskin (Ivan Hadar, 2007). Di tambah lagi dengan bukti terdahulu yang dilaporkan PBB (UNDP, 1999), bahwa ketimpangan antara orang miskin dan kaya di dalam negara atau antar negara sangat cepat meluas disebabkan oleh sistem perdagangan dan keuangan global.
Fakta-fakta tersebut memperlihatkan betapa pentingnya upaya nasional yang melibatkan seluruh elemen penyelengara negara dan masyarakat, tidak terkecuali partai politik untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik. Peran partai politik menjadi sangat penting mengingat keberadaan mereka sebagai pilar negara, turut menentukan keberhasilan agenda besar pembangunan bangsa sekaligus diharapkan menjadi problem solver berbagai persoalan yang melilit bangsa. Penguatan peran partai politik dalam keberhasilan MDGs sangat ditentukan oleh besarnya komitmen elit partai dalam menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi dan hak asasi manusia serta menciptakan iklim yang kondusif untuk menyejahterakan masyarakat. Elit partai juga harus menunjukan komitmen luhurnya menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara yang berpihak kepada masyarakat.
Prasyarat ini penting dilakukan. Investasi dan strategi yang hati-hati - meminjam Messner dan Wolff (the MDGs, Thinking Beyond the Sachs Report, 2005) - hanya dapat berhasil apabila para elite di negara berkembang berkomitmen kepada diri mereka sendiri dengan melaksanakan prinsip good governance. Model investasi untuk memberdayakan orang miskin di setiap negara selain didasarkan pada kebijakan ekonomi dan sosial, juga bergantung pada strategi-strategi untuk mengembangkan atau memperkuat institusi MDGs yang relevan. Konsisten pada upaya antikorupsi, investasi penguatan dan peningkatan efektitivitas administrasi publik, pelaksanaan aturan hukum, transparansi dan akuntabilitas dalam bisnis dan politik serta upaya memperkuat hak asasi manusia adalah kunci membangun strategi pencapaian MDGs. Disinilah momentum penting bagi partai politik memainkan peran dan fungsi strategisnya dalam keberhasilan MDGs dengan memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada upaya-upaya sistematis menyelesaikan berbagai problem sosial - kemanusiaan seperti halnya termuat dalam delapan goals MDGs.. Sudah saatnya elit partai meninggalkan budaya politik yang sarat dengan perilaku politik pragmatis yang gemar mengumbar libido kekuasaan. Sehingga mampu memaksimalkan perannya dalam mendorong investasi riil dan meminimalkan spekulasi keuangan, mendukung swasembada dan kemandirian lokal ketimbang terus menerus menciptakan ketergantungan global. Pemerintah harus didorong untuk menekan berbagai kepentingan lembaga keuangan dan korporasi-korporasi global sehingga tunduk, bertanggungjawab terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai demokratis. Tataran-tataran nilai yang dimulai dari demokrasi, keadilan, transparansi, keberlanjutan lingkungan hidup dan subsidiaritas yang kesemuanya itu menunjukan keberpihakan kepada kaum miskin, hak-hak asasi manusia serta kelestarian planet bumi ketimbang hak-hak dan keuntungan korporasi besar yang terus berkepentingan memijakan modalnya di tanah air tercinta.
Sejak dideklarasikan tahun 2000, capaian MDGs memang tidak semulus yang diinginkan. Kesenjangan di tingkat global dan dalam suatu negara masih saja terjadi dan menjadi faktor penghambat pencapaian MDGs. Kemunduran dalam pencapaian MDGs juga dialami oleh
Penyelesaian problem kemiskinan tentunya dapat tercapai dan dipenuhi dari anggaran pemerintah baik melalui APBN maupun APBD. Kompleksitas problem kemiskinan dan pemiskinan di Indonesia, sangat terkait erat dengan isu-isu sosial seperti rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau rakyat miskin, kerusakan lingkungan hidup, meningkatnya angka penderita HIV/AIDS, serta kematian ibu dan balita. (Antara News, 20/04/2007). Namun, kondisi ini seringkali diperparah dengan kenyataan bahwa negara berkembang dengan potensi pasar luas seperti
Fakta-fakta tersebut memperlihatkan betapa pentingnya upaya nasional yang melibatkan seluruh elemen penyelengara negara dan masyarakat, tidak terkecuali partai politik untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik. Peran partai politik menjadi sangat penting mengingat keberadaan mereka sebagai pilar negara, turut menentukan keberhasilan agenda besar pembangunan bangsa sekaligus diharapkan menjadi problem solver berbagai persoalan yang melilit bangsa. Penguatan peran partai politik dalam keberhasilan MDGs sangat ditentukan oleh besarnya komitmen elit partai dalam menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi dan hak asasi manusia serta menciptakan iklim yang kondusif untuk menyejahterakan masyarakat. Elit partai juga harus menunjukan komitmen luhurnya menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara yang berpihak kepada masyarakat.
Prasyarat ini penting dilakukan. Investasi dan strategi yang hati-hati - meminjam Messner dan Wolff (the MDGs, Thinking Beyond the Sachs Report, 2005) - hanya dapat berhasil apabila para elite di negara berkembang berkomitmen kepada diri mereka sendiri dengan melaksanakan prinsip good governance. Model investasi untuk memberdayakan orang miskin di setiap negara selain didasarkan pada kebijakan ekonomi dan sosial, juga bergantung pada strategi-strategi untuk mengembangkan atau memperkuat institusi MDGs yang relevan. Konsisten pada upaya antikorupsi, investasi penguatan dan peningkatan efektitivitas administrasi publik, pelaksanaan aturan hukum, transparansi dan akuntabilitas dalam bisnis dan politik serta upaya memperkuat hak asasi manusia adalah kunci membangun strategi pencapaian MDGs. Disinilah momentum penting bagi partai politik memainkan peran dan fungsi strategisnya dalam keberhasilan MDGs dengan memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada upaya-upaya sistematis menyelesaikan berbagai problem sosial - kemanusiaan seperti halnya termuat dalam delapan goals MDGs.. Sudah saatnya elit partai meninggalkan budaya politik yang sarat dengan perilaku politik pragmatis yang gemar mengumbar libido kekuasaan. Sehingga mampu memaksimalkan perannya dalam mendorong investasi riil dan meminimalkan spekulasi keuangan, mendukung swasembada dan kemandirian lokal ketimbang terus menerus menciptakan ketergantungan global. Pemerintah harus didorong untuk menekan berbagai kepentingan lembaga keuangan dan korporasi-korporasi global sehingga tunduk, bertanggungjawab terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai demokratis. Tataran-tataran nilai yang dimulai dari demokrasi, keadilan, transparansi, keberlanjutan lingkungan hidup dan subsidiaritas yang kesemuanya itu menunjukan keberpihakan kepada kaum miskin, hak-hak asasi manusia serta kelestarian planet bumi ketimbang hak-hak dan keuntungan korporasi besar yang terus berkepentingan memijakan modalnya di tanah air tercinta.
No comments:
Post a Comment