Tuesday, May 8, 2007

Damai Di Tengah Masyarakat Pluralistik


Tulisan saya ini pernah dimuat di kolom majalah Dinamika Depdagri, No.03.Th.I September 2005.

Salah satu perubahan penting di era demokratisasi yang telah mengubah secara fundamental struktur sosial-politik Indonesia adalah semakin vitalnya kekuatan dan kemandirian masyarakat di hadapan institusi negara (Alfan Alfian, 2001)

Perubahan penting tersebut diantaranya ditandai munculnya berbagai forum atau lembaga nirlaba lintas agama yang mengusung serta menumbuh-kembangkan gagasan demokrasi, kebebasan, keadilan, kemanusiaan, perdamaian dan pluralisme ke tengah-tengah masyarakat Indonesia (Majemuk, No.11/2004). Tumbuh dan berkembangnya berbagai organisasi nirlaba lintas agama di Indonesia tampaknya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan mutakhir yang terjadi di tingkat internasional seperti penyelenggaraan Parlemen Agama-Agama sedunia (Parliament of The World`s Religion) yang berlangsung di Chicago, Amerika Serikat, 27 Agustus - 5 September 1993. Pada parlemen kedua yang diselenggarakan untuk memperingati parlemen serupa di kota yang sama pada tahun 1893 tersebut, hadir 5000 peserta dari 10 agama, antara lain: Islam, Hindu, Budha, Kristen, Yahudi, Konghucu, Tao, Shinto, Jain, Zoroaster. Selain itu, hadir pula para wakil dari kelompok Sikh, Bahai, Kumaris dan beberapa agama tradisional lainnya.

Parlemen Agama di samping merupakan peristiwa monumental dan tonggak sejarah penting khususnya bagi umat manusia, juga memiliki gaung yang cukup besar bagi pertumbuhan dialog antar umat beragamadi dunia (Din Syamsuddin, 2001). Bahkan belum lama ini, seperti diberitakan salah satu stasiun televisi swasta nasional, pada pertengahan Juli 2005 telah berlangsung pula Dialog Antar Agama se-Asia dan Eropa di Nusa Dua, Bali, Indonesia. Satu hal yang menarik dari Parlemen Agama-Agama sedunia, menurut Din Syamsuddin (2001), agama-agama dewasa ini menghadapi tantangan yang bersifat internal berupa pluralitas atau kemajemukan. Menurutnya, realitas kemajemukan pada satu sisi merupakan mosaik yang indah, namun di sisi lain merupakan tantangan bagi dunia keagamaan. Hal ini dikarenakan kemajemukan mengandung potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi konflik antar umat beragama yang tidak diharapkan terjadi.

Berkaitan dengan kemajemukan sebagai fakta yang dialami dan harus dihadapi bangsa Indonesia dalam kenyataan hidup sehari-hari, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Djohan Effendi (2005) menyatakan, pluralisme hendaknya bukan lagi diperbincangkan dalam wacana intelektual, melainkan sebuah agenda yang harus diperjuangkan melalui aksi bersama. Oleh karena itu, menurutnya, dari perspektif kemajemukan agama dan kepercayaan dalam masyarakat Indonesia, maka tuntutan untuk menjadikan kemajemukan sebagai faktor dinamik untuk kemajuan - bukan sebagai sumber ancaman dan pertentangan - sudah mendesak mengingat kemajemukan tidak bisa lagi dibiarkan sebagai sekedar fenomena alami.

Adalah fakta dan realitas yang tidak dapat dibantah bahwa Indonesia memang merupakan negara bangsa yang terdiri dari beragam budaya, suku bangsa, ideologi politik dan terutama agama sebagai fenomena khas di Indonesia. Keragaman ini positif jika saja ia tercipta dalam suatu relaitas yang harmonis dan toleran. Namun, sebagaimana menurut Zaenal Muttaqin (2005), ketika agama - lewat campur tangan sejarah - mengklaim atas suatu kebenaran yang absolut, mutlak dan tak tergugat melalui perantara interpretasi yang monolitik, tidak peka lagi atas realitas yang tidak tunggal, maka dengan keragaman tersebut manusia justeru senantiasa bertikai di ladang-ladang konflik dan kekerasan (Majemuk, No.14/2004).

Fenomena konflik dan budaya baku hantam sebagaimana dikatakan oleh Syafii Maarif (dalam Said Tuheley, (ed.), 2003), merupakan fenomena yang tidak terpisahkan dari historisitas umat manusia. Menurutnya, dalam pengalaman sejarah, selalu saja ada kecenderungan sebagian umat manusia untuk menghancurkan perumahan kemanusiaannya. Namun, dalam konteks membangun interaksi beragama yang harmonis, kondisi semacam itu tentu tidak diharapkan oleh individu dan kelompok agama manapun yang menghendaki terciptanya kehidupan beragama yang damai. Mengingat betapa mahalnya ongkos sosial yang harus ditanggung oleh bangsa Indonesia jika terjadi benturan di masyarakat yang pada akhirnya hanya akan merusak tatanan sosial-agama serta menambah deretan panjang peristiwa kekerasan di Indonesia. Seperti kata Amidhan (Nurcholish Madjid, et.al, 2000), pada kenyataannya memang tidak dapat dipungkiri bahwa potensi konflik dalam masyarakat pluralistik sangatlah tinggi, sehingga diperlukan tindakan strategis dalam mengelola pluralisme agar tidak melahirkan konflik yang destruktif. namun, sebagaimana pernyataan Magnis Suseno (dalam Said Tuheley, (ed.), 2003), dalam masyarakat pluralistik selalu ada kemungkinan untuk mengembangkan sebuah etos kemanusiaan bersama atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sehingga menurutnya, orang-orang beragama justeru dalam keragamannya dipanggil untuk memperlihatkan bahwa mereka dapat memelopori kehidupan bersama masyarakat yang wajar dan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.

Oleh karena itu, pemikiran dan komitmen berbagai forum atau organisasi lintas agama untuk membangun kesadaran pluralitas antar beragama di Indonesia akan menjadi sangat efektif dan berdampak luas apabila jaringan kerja lintas iman terwujud secara masif melibatkan semua elemen agama dan tidak hanya dan tidak hanya berlangsung dalam situasi paska konflik. Jaringan kerja lintas iman juga hanya akan menjadi hiasan anggun dalam etalase demokrasi - di tengah perjuangan membangun kehidupan beragama yang damai dan demokratis - apabila kesadaran dan semangat pluralisme hanya diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial, tanpa diiringi tindak lanjut konkrit dan berkelanjutan di tengah-tengah masyarakat. Langkah konkrit tersebut dapat berbentuk upaya perluasan gagasan dan jaringan pluralisme, membumikan nilai-nilai agama dalam wacana kemanusiaan, menyelenggarakan pendidikan demokrasi, pemetaan konflik, identifikasi dan analisis masalah, pendampingan dan sebagainya.

Dengan demikian, perluasan jaringan kerja lintas iman dalam suasana dan setting sosial-keagamaan di Indonesia yang begitu plural, diharapkan menjadi salah satu upaya meminimalisasi atau bahkan mengeliminasi potensi pertikaian antar agama. Sehingga harapan semakin berkembangnya gerakan dialog agama-agama di berbagai tingkatan masyarakat meliputi wilayah geografis yang luas serta bersinerginya berbagai elemen agama di Indonesia sebagai salah satu fase menuju kehidupan beragama yang damai dan demokratis, tanpa pertikaian serta bebas dari watak dan perilaku dominatif, diskriminatif dan saling mensubordinasi, tidak mustahil dapat terjadi di bumi pertiwi Indonesia. Wallahu`alam






Beliau adalah Kakek Sepuhku

SAYYID SYEKH TUBAGUS MUHAMMAD FALAK
Lahir di Banten 1842,Wafat di Bogor 1972

Menuju Pendidikan Yang Humanis


Tulisan saya ini dimuat oleh Majalah Syirah, No.31/IV/JUNI/2004

Sebuah buku yang mengulas hubungan antara praktik penindasan yang tidak menghargai dimensi kemanusiaan dengan model pendidikan Islam dan model pendidikan alternatif ala Romo Mangun.

Sampai saat ini pendidikan dan isu kemanusiaan menjadi agenda besar yang sudah mewacana di Indonesia. Persoalan biaya pendidikan yang tinggi dan sistem kurikulum yang timpang mau tidak mau menyita perhatian karena disadari atau tidak hal-hal tersebut menentukan seperti apa generasi yang akan datang. Apakah ketimpangan-ketimpangan ini akan terus diberi ruang untuk ambil bagian dalam mencetak generasi yang akan menentukan nasib bangsa?

Singgih Nugroho dalam buku Pendidikan Pemerdekaan & Islam memperlihatkan persoalan pendidikan di Indonesia, khususnya yang terkait erat dengan isu kemanusiaan. Dalam konteks ini, Singgih menegaskan adanya hubungan yang erat antara praktik penindasan yang tidak menghargai dimensi kemanusiaan dengan model pendidikan Islam dan pendidikan alternatif yang digagas oleh YB.Mangunwijaya. Sebagai model pendidikan, keduanya sarat dengan sentuhan humanitas serta mendorong pembebasan manusia.

Singgih Nugroho memulai pembahasan buku ini dengan mengulas hubungan Islam dengan diskursus pendidikan sebagai praktik pembebasan. Hal ini didasarkan pada referensi sejarah yang dikemukakan Asghar Ali Engineer dalam Islam dan Teologi Pembebasan, dengan menyatakan bahwa sejarah kehadiran Islam pertama kali ke dunia dideklarasikan melalui wahyu. Pertama, yakni surat al-Alaq ayat satu sampai lima. Makna yang terkandung dalam wahyu pertama itu menganjurkan kepada umat Islam agar perhatian terhadap dunia pendidikan dijadikan sebagai pijakan dasar kesadaran kritis. Mengingat posisi pendidikan yang terbilang strategis, banyak pihak yang terusik eksistensinya sehingga merasa perlu melakukan kontrol terhadap pendidikan.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika di negara berkembang yang kadar demokratisasinya masih rendah dan peran negara masih sangat dominant, pemerintah yang berkuasa berkepentingan untuk mengatur proses politik kekuasaan agar sesuai dengan keinginan dan mendukung kekuasaannya. Ditambah lagi persoalan anggaran pendidikan yang tidak proporsional berakibat pada tingginya biaya pendidikan.

Realitas pendidikan di Indonesia dengan segala permasalahannya mendorong Singgih Nugroho untuk mengemukakan pemikiran YB.Mangunwijaya mengenai pendidikan. YB.Mangunwijaya atau lebih dikenal dengan sebutan Romo Mangun berkeyakinan bahwa pendidikan adalah kunci untuk mewujudkan sosok dan manusia Indonesia yang merdeka dalam pengertian yang sesungguhnya, yakni terbebas dari penindasan oleh sesama (exploitation de`l home par `l home) mauun oleh struktur negara. Romo Mangun dikenal sebagai juru bicara untuk membela kepentingan pendidikan bagi rakyat kecil dan kaum miskin serta mengajarkan jenis pendidikan yang berpola pendidikan politik, suatu pendidikan yang membuat orang merdeka dalam kehendak dan cita-citanya.

Konsep pendidikan ala Romo Mangun dibangun melalui refleksi yang kritis atas situasi politik yang terjadi di Indonesia. Di samping itu, banyak gagasannya yang dipengaruhi oleh pemikir-pemikir pendidikan alternatif dan tokoh-tokoh penyadaran seperti Paulo Freire, Ivan Illich, Jean Pieguet, Phillips H. Coombs dan tiga Founding Fathers Republik Indonesia yakni Soekarano Muda, Hatta dan Syahrir. Sehingga secara umum pemikiran pendidikan Romo Mangun seperti dikemukakan Singgih Nugroho dalam buku Pendidikan Pemerdekaan & Islam merupakan model pendidikan alternatif yang sarat dengan ide-ide pembebasan, pemerdekaan dan perlawanan terhadap budaya dan struktur yang menindas.

Komitmen Romo Mangun terhadap pendidikan tidak hanya berhenti di tingkat gagasan tetapi sudah pada tingkat praksis yakni dengan mendirikan Sekolah Dasar Eksperimental Kanisius Mangunan (SDEKM), sebagai sekolah dasar percontohan yang dikelolanya bersama Yayasan Edukasi Dasar di Mangunan, Kalasan, Yogyakarta. Pendirian SDEKM merupakan wujud pengimplementasian model pendidikan yang diangankan Romo Mangun, yakni mendidik manusia merdeka dengan cara memberikan ruang kebebasan bagi murid dan guru untuk mengembangkan kreativitasnya. Pendirian lembaga pendidikan itu tidak lepas dari diagnosis dan kesimpulan Romo Mangun bahwa usaha tersebut harus dimulai dari pendidikan dasar. Menurutnya, pendidikan dasar memegang peranan strategis untuk menebar benih-benih pertama jiwa yang tidak berpola ndoro-kawulo, tetapi solider modern dengan penghayatan yang peka akan kesatuan manusia dan alam semesta.

Di samping itu, catatan penting yang dikemukakan oleh Singgih Nugroho adalah komitmen Romo Mangun terhadap kaum lemah, miskin dan anti diskriminasi dengan SDEKM yang murid-muridnya hampir semua dari kalangan keluarga ekonomi lemah beserta segala budaya dan kebiasaan mereka baik negatif maupun positif serta agama yang beragam pula. Sebagai akhir dari tulisannya, Singgih Nugroho menyatakan bahwa dalam perspektif religiusitas, sesungguhnya ada relasi yang harmonis antara paradigma pendidikan YB Mangunwijaya sebagai penganut Katolik dengan pendidikan Islam. Menurutnya, substansi ide dan paradigma pendidikan Islam dengan doktrin tauhid yang menjadi ideologi pendidikan Islam adalah keesaan, persamaan, persaudaraan, keadilan dan demokrasi. Karena dengan nilai-nilai ketauhidan, manusia dituntut mampu menciptakan tata hidup bermoral, bebas dari segala penindasan dan eksploitasi nilai kemanusiaan orang lain.