Friday, May 30, 2008

Geliat Politik NU di Tengah Hiruk-Pikuk Pilkada

Geliat Politik NU di Tengah Hiruk-Pikuk Pilkada

Bogornews---- Nahdlatul Ulama (NU), salah satu ormas Islam terbesar d Indonesia, adalah “Teks” yang tak pernah kering untuk dianalisis dan dibaca ulang terus menerus, bagai tiada habisnya. Ada yang memuji, ada yang mengecam. Atau ada yang mencoba bertindak obyektif menampilkan kelebihan dan kekurangan NU sekaligus. Sebagai sebuah “Teks” NU terbuka untuk ditafsirkan secara beragam. Begitu juga peran sosial-politiknya dalam sejarah. Demikian analisis yang pernah diungkapkan oleh M. Arief Hakim dalam Jejak-Jejak Islam Politik: Sinopsis Sejumlah Studi Islam di Indonesia.


Lalu apa kaitan NU dengan politik? Sepanjang sejarahnya, NU, sejak berdiri tahun 1926 sebenarnya lebih tampak sebagai organisasi sosial-keagamaan yang peduli terhadap persoalan-persoalan pendidikan, kemasyarakatan dan pemberdayaan ekonomi kaum bawah. Tetapi dalam perjalanannya, NU acapkali tidak bisa menghindar dari realitas pergulatan politik baik di tingkat lokal maupun nasional. Bahkan tidak jarang bersentuhan dengan persoalan politik, negara dan kekuasaan baik langsung maupun tidak.

Di balik simbol “Kaum Sarungan”nya yang mengesankan kekolotan, NU ternyata memperlihatkan citra sebaliknya yakni sebagai organisasi yang dikenal radikal, progresif, transformatif dan demokratis – meminjam istilah Greg Fealy – dalam Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara. Ibarat orkestra, menurut M. Arief Hakim, NU menyuguhkan simfoni yang beragam dan bergerak dalam irama yang dinamis. Kadang ada warna konservatif, feodal dan dogmatis, tetapi juga muncul dan menguat visi demokratis dan progresifnya.

Dengan kecenderungan perilaku sosial-politik semacam ini, wajar saja jika pengamat asing lainnya, Martin van Bruinessen dengan tegas menyatakan bahwa visi transformasi sosial-politik warga NU yang progresif – terutama kalangan generasi mudanya – mulai era 90-an tidak terdapat dan tidak ditemukan pada ormas-ormas (Islam) lainnya.

Mencermati peran NU memang tidak bisa terlepas dari setting sosial-politik. Jika politik didefinisikan secara sederhana sebagai wilayah yang bersentuhan dengan negara, kekuasaan dan struktur pemerintahan maka sesungguhnya peran politik NU mulai ditabuh sejak perjuangan bangsa ini melawan penjajah dan merebut kemerdekaan hingga turut memainkan peran signifikan dalam pentas sejarah Indonesia kontemporer. NU mungkin bisa bertekad untuk tidak berpolitik praktis sebagaimana khittah 1926, tetapi sebagai ormas Islam yang besar, NU tidak mungkin bisa menghindar dan bersikap apatis terhadap persoalan politik, negara, pemerintahan dan kekuasaan.

Karena politik, negara, pemerintahan dan kekuasaan merupakan bagian penting dari problem bangsa yang tentu saja menuntut peran NU, baik langsung maupun tidak langsung (Arief Hakim, 2004). Terkait hal tersebut – Meminjam Syafii Maarif – politik adalah wilayah manusia yang tidak bisa dihindari dan dimasabodohi. Lewat politik jualah, perjuangan ke arah demokrasi, keadilan dan pencerahan bisa diperjuangkan.

Terlebih lagi, NU, sebagai “rumah” tempat bernaungnya basis massa yang sangat besar, memiliki kekuatan berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Realitas ini tentu saja memungkinkan NU memainkan posisi tawarnya yang besar untuk aktif mewarnai bahkan menentukan setiap agenda perubahan positif untuk masyarakat tidak terkecuali di pentas politik lokal.

Pada tingkat nasional memang sangat jelas bahwa tidak ada ormas lain di Indonesia yang memiliki kapital politik sebesar NU. Dilihat dari sisi jumlah anggota, NU adalah ormas terbesar. Berdasarkan survei LSI berulang-ulang, sekitar 35% dari seluruh pemilih Indonesia mengidentifikasikan diri sebagai keluarga besar NU. Angka itu sangat jauh dibandingkan ormas nomor dua, Muhammadiyah, yang hanya seputar 6-10 persen. Siapa yang mampu menguasai NU potensial menguasai 35% dari suara pemilih. Dalam pertarungan politik praktis pemilu langsung, jelas angka itu sangat berarti. Dalam pemilu langsung, kuantitas suara lebih penting daripada kualitasnya.

Siapa pun yang didukung oleh kuantitas suara yang lebih besar akan lebih kuat, tak peduli kualitas dukungannya. Hal lain yang membuat NU mahal secara politik adalah jaringannya. Kehadiran NU dalam sejarah Indonesia jelas jauh lebih tua dari partai politik mana pun. NU termasuk ormas yang paling tua yang kini masih beroperasi. Tradisi silahturahmi antar-jaringan NU tentu termasuk yang paling mengakar. Terlebih lagi, NU juga hadir di seluruh pelosok Tanah Air, walau ia lebih terkonsentrasi di tanah Jawa.
Untuk dunia politik praktis, jaringan yang solid di seluruh teritori Indonesia sangat bernilai jual. Semua partai yang ikut dalam pemilu belum mengembangkan jaringan yang bersifat kultural dan emosional seperti NU.

Jika partai atau politisi itu dapat tersambung dengan jaringan NU, ia segera menjadi kekuatan politik yang mendapatkan dukungan grass root. Hubungan antara pemimpin lokal NU dan komunitas lokalnya juga memiliki pertautan khusus, misalnya, Kiai lokal dengan mudah menjadi representasi komunitas lokal NU. Dengan menguasai kiai lokal, komunitas lokal NU juga sedikit banyak akan terbawa. Fenomena itu membuat NU makin menarik secara politik. (Denny, JA, 2004)

Dengan realitas keberadaan NU yang lebih terkonsentrasi di Jawa termasuk di Kota Bogor serta realitas “nilai jual politik” NU yang tinggi, lalu bagaimana geliat politik NU dalam konteks politik lokal? Terkait dengan moment penting penyelenggaraan Konferensi Cabang NU Kota Bogor pada tanggal 30 Januari 2008, bertepatan dengan tahun tersebut juga akan segera berlangsung perhelatan demokrasi di tingkat lokal yakni Pemilihan Walikota Bogor. Dalam konteks tersebut akan tercipta seorang pemimpin (umara) di Kota Bogor yang baru. Moment penting ini tentu akan turut mempengaruhi dinamika dan kecenderungan perilaku politik para pemimpin dan elite NU yang kelak akan terpilih dalam Konferensi Cabang NU Kota Bogor yang akan segera digelar pada akhir Januari mendatang. Sebagai tokoh yang mengendalikan ormas NU, apalagi di era pragmatisme seperti saat itu, pimpinan NU bisa saja tergoda untuk menterjemahkan kapital politik itu sebagai alat negosiasi.

Namun, beriringan dengan kepentingan politik, NU harus berperan nyata dan bergerak pula dalam sektor yang lebih menyentuh harkat hidup masyarakat banyak. Tidak hanya dalam gerakan moral dan spiritual semata tetapi juga pelayanan-pelayanan yang menjawab kebutuhan masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan. Starting point penguatan peran NU tersebut dapat dimulai dari momen penyelenggaraan Konferensi Cabang NU Kota Bogor.
Mengutip pernyataan DR. dr. H. Jusbandi Aboebakar, secara internal NU harus membangun keberdayaan organisasi, menentukan arah, meningkatkan bargaining position dan peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di samping itu, secara eksternal NU harus berperan aktif mewujudkan silaturahmi para pemimpin NU dengan stakeholders sekaligus membangun kebersamaan dengan multi stakeholders untuk menuntaskan persoalan di Kota Bogor terutama masalah kemiskinan, pendidikan dan kesehatan. Terakhir, secara eksistensial NU harus menjadi pelopor perbaikan kehidupan, menjadi rujukan dan menjadi perlindungan para pihak yang membutuhkan.

Untuk memperkuat pencapaian tujuan eksternal tersebut, NU harus berperan aktif mewujudkan silaturahmi dengan jajaran pengambil keputusan baik kalangan eksekutif maupun legislatif sekaligus mengeratkan tali kemitraan. Bahkan jika dipandang perlu, turut mengarsiteki arah perubahan politik di ranah lokal Kota Bogor. Meskipun bukan organisasi politik, tetap saja memungkinkan bagi NU untuk turut mendesign perubahan politik dan pergantian aktor-aktor dan elit-elit politik di Kota Bogor baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terkait hal tersebut, dalam pentas politik di Kota Bogor mendatang setidaknya telah muncul dua figur yang diperkirakan akan menjadi kontestan utama di arena pemilihan Walikota Bogor mendatang. Kedua figur tersebut yakni pertama, Dody Rosadi (Sekda Kota Bogor) yang memiliki kematangan wawasan dan pengalaman dalam manajemen pemerintahan serta memiliki latar belakang ke-NU-an meskipun tidak terlibat langsung dalam struktur NU Kota Bogor. Eksistensi sebagai warga Nahdliyin beliau diperkuat dengan adanya ikatan kekeluargaan dengan almarhum KH. Ilyas Ruhiyat sebagai salah seorang tokoh besar NU. Kedua, Diani Budiarto (Walikota Bogor) yang juga memiliki wawasan dan pengalaman di pemerintahan namun tidak memiliki kejelasan afiliasi dengan ormas-ormas besar Islam yang telah banyak menorehkan catatan penting dalam pentas sejarah Indonesia.

Dengan kondisi peta politik politik semacam itu, maka NU baik secara individual, komunal maupun kelembagaan seyogyanya membentuk dan menguatkan barisan untuk mendukung anggota keluarga sekaligus kader terbaiknya guna memenangkan Pilkada Kota Bogor mendatang? Sejarah yang akan membuktikan!

No comments: