Pesantren Ladang Menyemai Pluralisme
Senin, 10 Desember 2007 13:04
Bogor, NU Online
Pesantren memiliki peran sejarah yang sangat strategis dalam menjaga keseimbangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberadaannya mampu menjadi perekat heterogenitas masyarakat. Bahkan pesantren umumnya mampu menyemai toleransi dan menumbuhkan semangat menghargai pluralisme.
Hal tersebut disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falak Pagentongan, Kota Bogor, KH Hasbullah, pada saat menerima kedatangan Guru Besar Teologi dan Islamologi University of Nottinghem Inggris, Prof Hugh Goddard, Ahad (9/12).
Kedatangan Hugh selain didampingi beberapa dosen dari University of Nottingham, juga didampingi pejabat dari Kedutaan Besar Inggris untuk Indonesia. Sedangkan dari Bogor, selain pengasuh dan santri Al-Falak, hadir pula para aktivis dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), guru besar dan dosen dari IPB serta pengasuh pesantren di Bogor.
Hugh, seperti dilaporkan kontributor NU Online Ahmad Fahir, secara khusus datang ke Indonesia guna melihat dari dekat potret kehidupan masyarakat pesantren. Pesantren Al-Falak Pagentongan Bogor, yang didirikan oleh perintis NU Bogor almagfurlah KH Tb Falak adalah pesantren pertama di Indonesia yang dikunjungi Prof Hugh.
Lebih lanjut, Hasbullah mengutarakan, sejarah mencatat betapa komunitas pesantren sangat menghargai perbedaan agama dan menjunjung tinggi semangat toleransi dalam kehidupan. Hal itu pula yang dilakukan Pesantren Al-Falak sejak didirikan tahun 1901 silam.
“Sejak dididirikan, pesantren ini bukan hanya menjadi lembaga yang concern di bidang pendidikan, namun juga memberdayakan masyarakat sekitar dan mengajarkan pentingnya toleransi dalam kehidupan beragama,” kata Hasbullah.
Sementara itu, Professor Hugh menyampaikan, dirinya merasa haru melihat potret kehidupan pesantren. Meski bercorak tradisional, terang Hugh, pesantren memiliki ajaran yang sangat modern dan progresif.
“Saya datang ke pesantren ini, karena merasa tertarik dengan sejarah besar yang pernah ditorehkan dan peran yang dilakukan dalam memberdayakan masyarakat maupun dalam membangun tradisi menghargai perbedaan,” paparnya.
Munculnya perbedaan karena beda pilihan agama, lanjutnya, wajar-wajar saja. Namun hal itu jangan menimbulkan konflik. “Selama ini konflik terjadi karena kita sering terjebak melakukan generalisasi. Misalnya yang dilakukan George Bush di Amerika, tidaklah mencerminkan perilaku sebagai Kristiani, karena kebanyakan warga Amerika pun tidak sependapat dengan Bush. Begitupun yang terjadi dalam Islam, kesalahan yang dilakukan oleh oknum hendaknya tidak digeneralisir,” tegasnya.
Sementara itu Achmad Ubaidillah mengatakan, masyarakat pesantren meski digolongkan sebagai jamaah tradisional, memiliki apresisasi yang tinggi terhadap keragaman dan perbedaan yang berkembang. Bahkan, pesantren yang notabene sebagai corak pendidikan khas Indonesia, memiliki elastisitas yang tinggi dalam beradaptasi dengan budaya lokal.
”Pesantren adalah aset terbesar budaya kita. Keberadaannya sangat strategis dalam membentuk watak kehidupan masyarakat. Karenanya keberadaan pesantren perlu dilestarikan dan dikembangkan, agar mampu menjawab isu-isu yang berkembang seperti kemiskinan, pemanasan global maupun isu-isu strategis lain,” papar mantan Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kota Bogor ini.
Dalam kesempatan tersebut, dilakukan pula refleksi gerakan kultural aktivis muda NU Bogor. Pada intinya aktivis muda NU Bogor memiliki kesepahaman untuk melestarikan budaya hibrida dan melakukan sesuatu yang baru yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat.
”Kita akan membangun semacam road map gerakan kultural anak-anak muda NU Bogor. Kami mulai dari yang kecil, tapi kongkret. Langkah ini kami harapkan tidak hanya bermanfaat bagi NU, namun bagi masyarakat luas,” ujar Nunung Munawarorh dari Fatayat NU Kota Bogor. (amf/ipb)
No comments:
Post a Comment