Friday, August 1, 2008

Fenomena Ayat-Ayat Cinta, Gagasan Islam, Budaya Pop, dan Ideologi Pasar

oleh: Achmad Ubaidillah, S.Hum

Luar Biasa. Inilah kata yang tepat untuk menggambarkan fenomena film Ayat-Ayat Cinta yang diadaptasi dari novel karya Habiburrahman El Shirazy. Film ini menjadi film Indonesia tersukses dan terlaris yang pernah diproduksi. Ayat-Ayat Cinta tak ubahnya sebuah mantra ampuh yang mampu menarik lebih dari 3,5 juta penonton. Bahkan film ini ditargetkan menembus angka 7 juta sebagaimana dinyatakan produser Ayat-Ayat Cinta, Manoj Punjabi di sejumlah media.

Kalangan ibu-ibu pengajian, anak muda berjilbab, eksekutif muda hingga Presiden RI, Wakil Presiden RI, sejumlah petinggi RI, para duta besar negara tetangga dan berbagai kalangan lainnya dengan latar belakang beragam adalah penonton Ayat-Ayat Cinta garapan Sutradara muda Indonesia, Hanung Bramantyo.

Film Ayat-Ayat Cinta yang diakui sang sutradara dalam blog pribadinya sebagai film dakwah memang memperlihatkan Nuansa Islam. Warna Islam muncul lewat ayat-ayat yang secara verbal kerap diucapkan Fahri dan unsur-unsur lainnya dalam film yang menunjukan warna Islam. Pada derajat tertentu – meminjam Andy Budiman – Ayat-Ayat Cinta menyajikan wajah Islam yang ramah melalui adegan ketidaksetujuan tokoh Fahri pada perlakuan kasar seorang pria Mesir pada turis Amerika di kereta listrik bawah tanah Kairo. Hal ini dimaksudkan untuk memberi dakwah, bahwa umat Islam harus hormat dan toleran kepada orang asing termasuk pemeluk agama lain.

Warna Islam juga tampak pada adegan saat Fahri menerangkan sejauh mana batasan perlakuan Suami yang dalam Islam diperbolehkan memukul Istri, jika Istri membangkang terhadap Suami. Adegan tersebut dan beberapa adegan lain memang berhasil memberikan citra positif tentang Islam yang toleran dan lembut. Namun di sisi lain, saking tolerannya, sampai-sampai hal-hal seperti khalwat (berdua-duaan dalam satu ruangan tertutup), berpandangan mata, bahkan saling menatap dalam waktu yang lama, diperlihatkan secara ekstrim. Adegan seperti Maria yang masuk ke kamar Fahri untuk memperbaiki komputer berdua, lalu beberapa kali terlihat adegan saling bertatapan baik antara Fahri dengan Maria, Noura, bahkan Aisha yang memakai cadar. Padahal adegan seperti itu tidak kita dapatkan dalam novel aslinya, mengingat Kang Abik adalah penulis Novel yang mempunyai misi untuk menjaga kemurnian akidah dan ajaran Islam dengan jalan yang lembut dan santun. (Dody Nur Andryan, 2008)

Kompromi-kompromi serta pengembangan cerita dalam film yang berbeda dengan Novel memang seringkali terjadi ketika novel atau buku difilmkan. Robinson Crusoe misalnya. Antara apa yang ditulis Daniel Defoe dengan versi filmnya terlihat berbeda. Begitu juga dengan film Gie yang diangkat dari Buku Catatan Harian Seorang Demonstran.

Kepiawaian dalam menafsirkan, mengembangkan bahkan meniadakan jalan cerita dalam novel Ayat-Ayat Cinta memperlihatkan kompromi Hanung terhadap tuntutan masyarakat dan pasar yang membuat film ini menjadi jauh dari nilai asli Novelnya. Namun sekali lagi hal seperti ini nampaknya sudah lazim dilakukan oleh banyak sutradara (Ibid, 2008).

Terkait hal tersebut, menarik kiranya mengetengahkan analisis Nur Hidayat (2008) tentang ketidaksetujuannya terhadap Hanung yang telah melakukan banyak perubahan karakter tokoh dan jalan cerita – meskipun seorang sutradara berhak melakukannya – Tapi, jika itu membuat film kehilangan roh, rasanya kok perubahan itu tidak tepat. Tapi, apa boleh buat. Inilah budaya pop kita. Film yang kehilangan roh juga sukses luar biasa, ujarnya (Blog Tempo Interaktif, 2008).

Dalam konteks film Ayat-Ayat Cinta dalam relasinya dengan budaya pop maka perlu digarisbawahi bahwa produk budaya pop selalu dihasilkan dari respon terhadap selera massa, yang “populer” pada saat itu. Budaya pop juga dapat menjadi bentuk ekspresi pada zaman itu. Seperti misalnya di Indonesia, produk budaya pop yang pernah mengalami “booming” di pasaran adalah sinetron bertemakan kehidupan remaja. Sampai-sampai novel-novel baru yang diterbitkan pun bertemakan kehidupan saat remaja. Demikian pula halnya dengan Film Ayat-Ayat Cinta yang jeli memanfaatkan peluang bisnis dari maraknya ghirah keberagamaan, khususnya di kalangan Islam. Diperkuat lagi oleh suatu realitas bahwa Indonesia, sebagai negara yang disadari atau tidak, menganut ideologi kapitalis, memang menjadi ruang yang nyaman bagi berkembangnya budaya pop dan segala bentuknya.
Jika ditelaah lebih lanjut, ini pun bukan hal baru mengingat dunia musik dan televisi telah lebih dahulu menikmati booming ini. Sebut saja album Tombo Ati yang sukses terjual dengan pencapaian komersial yang fantastik. Ditambah lagi dengan kesuksesan album religius grup musik Gigi dan Ungu yang semakin mengkonfirmasi besarnya sambutan publik atas musik bernuansa Islam. Sinetron Para Pencari Tuhan arahan Dedy Mizwar, juga menunjukkan hal serupa. Sinetron yang tayang di SCTV selama bulan puasa tahun lalu, mencapai rating tertinggi sekaligus melanjutkan sukses sebelumnya yang diraih lewat Kiamat Sudah Dekat (Andy Budiman, 2008)

Sebagai anak kandung industrialisasi, budaya pop yang terepresentasi melalui berbagai macam produk Industri seperti film, sinetron, musik dan sebagainya memang sering disertai pengomoditasan dan pengendalian di balik kuasa modal. Artinya, Ayat-Ayat Cinta yang dikemas dalam format sinema rentan terjebak pada arus pendangkalan yang disutradarai agen-agen budaya pop yang sarat muatan ideologi pasar.

Memang tidak dapat disangsikan bahwa film Ayat-Ayat Cinta merupakan manifestasi budaya pop yang muatannya turut ditentukan oleh industri-industri, salah satunya yakni industri Film. Industrialisasi inilah yang menjadi inti kebudayaan pop yang diamalkan oleh masyarakat modern (Rofiq`s Weblog, 2008). Hal itu tampak pada pelaku pasar yang jeli memanfaatkan peluang bisnis dari maraknya ghirah keberagamaan, khususnya di kalangan Islam sebagaimana ditulis oleh Andy Budiman (2008) dalam Film, Pasar dan Tabu. Di tambah lagi dengan pemilihan sejumlah artis populer yang cantik dan tampan sebagai tokoh-tokoh dalam film semakin menegaskan besarnya unsur-unsur budaya pop dalam film Ayat-Ayat Cinta. Munculnya eksploitasi atas hal semacam itu guna mendatangkan keuntungan pada akhirnya menjadi biasa kita saksikan.

Meskipun demikian, penulis ingin mengemukakan beberapa hal. Pertama, sebagai medium untuk mengekspresikan diri, budaya pop terbukti berhasil membuat hasil kreativitas manusia dapat dinikmati oleh semua golongan tidak terkecuali film Ayat-Ayat Cinta yang telah membawa pesan moral dan agama. Kedua, film Ayat-Ayat Cinta telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan budaya pop Indonesia khususnya di tengah menjamurnya film-film nasional yang bertema horor dan hedonisme yang tidak memberikan arti apapun bagi perkembangan masyarakat. Ketiga, dengan memanfaatkan instrumen budaya pop, film Ayat-Ayat Cinta bisa menjadi budaya tandingan terhadap hegemoni kapitalisme global yang berupaya menyeragamkan selera masyarakat dunia dengan ikon-ikon budaya barat. Terakhir, penulis merasa salut atas proses kreatif yang telah dilakukan Hanung Bramantyo dan semoga menjadi inspirasi bagi sineas-sineas baru di Indonesia untuk membuat karya yang lebih baik dari Hanung Bramantyo dan sineas-sineas pendahulu lainnya. Yang tidak kalah penting adalah memiliki komitmen untuk memberikan penyadaran dan pencerahan bagi masyarakat. Semoga!!!

Bogornews--- Rabu, 02-April-2008, 14:53:10

Menghidupkan Semangat Sufisme di Peradaban Modern

Oleh: Achmad Ubaidillah, S.Hum

Sufisme sebagai filsafat Islam telah dirumuskan secara luas dalam berbagai pemahaman terhadap kenyataan Ilahi. Istilah sufi memiliki konotasi religius yang lebih khusus untuk menyebut mistik dari penganut ajaran Islam. Secara etimologis, kata sufi, menurut beberapa pendapat berasal dari Bahasa Arab yang artinya kemurnian. Sedangkan Al-Hujwiri dalam Kasyful Mahjub, menyatakan bahwa sufi adalah sebuah nama yang diberikan kepada wali-wali dan ahli-ahli kerohanian yang sempurna (Mahmud Sujhuti, 2001)

Mengenai pengertian sufisme, Sayyid Husein Nasr berpendapat bahwa sufisme merupakan salah satu dari jalan yang diletakan oleh Tuhan untuk menunjukan kehidupan rohani sesuai dengan ajaran Al-Quran. Sufisme menarik kembali manusia dari keadaan asfala safilin-nya yang hina dalam rangka mengembalikannya ke dalam kesempurnaan ahsan taqwim-nya. Oleh karena itu, sufisme dapat dipraktekan dalam setiap keadaan dimana manusia menemukan dirinya, dalam kehidupan tradisional maupun modern (Ibid: 2001).

Dalam sejarah Islam, kehidupan sufi sebetulnya telah dimulai sejak masa pertumbuhan awal Islam termasuk kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Contoh kehidupan sufi inilah yang kemudian dijadikan rujukan para sufi generasi selanjutnya. Namun, seiring perkembangan waktu tepatnya di era pasca kehidupan Rasulullah dan para sahabat, kondisi sosial-politik mengalami perubahan dari masa sebelumnya. Satu contoh nyata pada masa khalifah-khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan dengan sistem pemerintahan monarkinya, hidup mewah mulai meracuni masyarakat, khususnya di kalangan Istana. Dalam kondisi demikian, kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Adalah Abu Dzar Al-Ghifari, yang melancarkan kritik tajam dan menyerukan diterapkannya keadilan sosial dalam Islam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan.

Di samping itu, Sufyan Al Tsauri yang terkenal alim dalam bidang Hadist, Fiqh dan dalam kerohanian telah dikenal pula sebagai sosok yang zuhud, wara` (berhati-hati dari yang haram dan syubhat, banyak beribadah dan sanggup menentang penguasa yang dianggapnya zalim (Ensiklopedi Islam 5, 1993).

Sekelumit uraian diatas memperlihatkan bahwa kehidupan sufi disamping merupakan hasil refleksi pemaknaan ajaran esoteris Islam dengan tujuan utama ma`rifat kepada Allah juga menunjukan bahwa kaum sufi tanggap terhadap situasi sosial-politik. Kaum sufi merespon dan melakukan perlawanan spiritual ketika kondisi obyektif sosial-politik umat mengalami degradasi nilai dan penyimpangan dari ajaran normatif Islam. Dengan kata lain, ajaran sufi yang dikesankan membelakangi dunia dalam dirinya mengandung potensi sebagai gerakan moral, sebagai tanggung jawab seorang muslim menghadapi realitas sosial-politik yang tidak kondusif bagi pelaksanaan ajaran Islam (Mahmud Sujhuti, 2001) Perlawanan spiritual dan gerakan moral inilah yang tetap memiliki relevansi ruang dan waktu untuk muncul pada momen-momen tertentu, tidak terkecuali di era modernisme, era dimana hedonisme-materialisme semakin menampakan wajahnya dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.

Modernisme yang telah menjelajah sekitar tiga setengah abad sampai memasuki abad 21 serta dipandang sebagai blue print kehidupan umat manusia sejagat dewasa ini banyak mengacu pada zaman Renaisans sebagai tonggak baru peradaban modern Barat. Hegemoni dan dominasi peradaban Barat dengan tonggak humanisme-antroposentris yang didukung oleh kekuatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi kemudian menjadi cita-cita kemajuan atau the Idea of Progress yang diyakini oleh hampir seluruh bangsa di dunia dan semakin memperoleh legitimasi baru melalu idiom modernisme.

Modernisme menjadi identik dengan kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang diiringi dengan kemajuan di bidang ekonomi, demokrasi di bidang politik serta kemajuan spektakuler lainnya dalam kehidupan manusia dan kemajuan identik dengan wawasan humanisme-antroposentris dalam design kebudayaan modern. Bahkan secara ekstrem muncul pandangan bahwa modernisme identik dengan westernisme (Said Tuheley (ed.), 2003). Namun, dalam perkembangannya, modernisme semakin kehilangan kharisma ketika muncul kritik dari Posmodernisme yang melakukan dekonstruksi terhadap fenomena modernisme.

Modernisme dipandang telah mencemari dunia kemanusiaan oleh bukti sejarah bahwa kehidupan modern yang berpangkal pada humanisme-antroposentris ternyata telah melahirkan banyak tragedi kemanusiaan seperti meletusnya perang dunia I, Perang Dunia II dan berbagai peristiwa penyerangan dan kekerasan antar bangsa lainnya dengan menggunakan peralatan perang spektakuler yang telah menjadi mesin pembunuh manusia dan memporak-porandakan suatu negara.

Di samping itu, modernisme yang dicirikan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dipandang telah mampu memberikan berbagai kemudahan kepada umat manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Namun, dengan kemudahan-kemudahan itu manusia justeru cenderung berlomba-lomba pada pemenuhan kebutuhan materi yang tidak pernah ada habisnya terutama karena didorong oleh nafsu lawwamah (unsur perusak yang terkandung dalam diri manusia). Kecenderungan seperti itu telah mendorong berkembangnya sikap dan gaya hidup hedonistik-materialistik. Berbagai kejadian, tindak kekerasan, penindasan dan perlakuan yang tidak adil antarsesama, manipulasi, kasus kriminalitas yang terus meningkat seperti perampokan dan pembunuhan adalah akibat dari pola hidup materialistik yang telah kehilangan landasan spiritualnya.

Dehumanisasi dalam kehidupan manusia tersebut diperburuk dengan berjangkitnya penyakit-penyakit seperti AIDS, ketergantungan narkotika serta meluasnya kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, dan berbagai problem kemanusiaan lainnya (Dr.Tarmizi Taher, 2003). Kondisi semacam ini diperparah pula oleh satu kenyataan bahwa wajah dunia di abad 21 masih dikotori oleh kejahatan kemanusiaan yakni tindak korupsi yang dilakukan baik oleh oknum pengelola kekuasaan negara maupun elemen masyarakat diluar unsur pemerintahan. Belum lagi kemarahan alam seperti banjir, kekeringan, pencemaran lingkungan, krisis energi, pemanasan global terus melanda kehidupan manusia sebagai aktor yang turut berkontribusi atas terjadinya kemarahan alam tersebut.

Dengan peristiwa-peristiwa semacam ini, wajar saja jika cita-cita kemajuan mulai digugat dan dibongkar secara radikal dengan munculnya pertanyaan “Apakah manusia di zaman modern ini benar-benar hidup berdasarkan akal sehat yang menuju pencerahan? Bahkan memasuki abad 21, semakin nyaring pendapat yang menunjukan kecenderungan bahwa dunia modern-industrial saat ini dan kedepan menuntut alternatif seputar wawasan kemanusiaan dalam berbagai dimensinya yang fundamental. (Said Tuheley, 2003).

Modernisme yang ditopang oleh industrialisasi besar-besaran ternyata telah berujung pada kecemasan massal terhadap gejala nir-spiritual sebagai dampak dari materialisme (Zainuddin Maliki, 2001) Kondisi inilah yang antara lain memunculkan pandangan pentingnya agama sebagai “The Sacred Canopy“, agama sebagai semesta simbolik untuk memberikan perlindungan dan pemaknaan ibarat langit suci – meminjam Peter L Berger – terhadap kehidupan yang chaos atau tanpa makna. Bahkan John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990) menegaskan mengenai lahirnya harapan baru bagi kebangkitan agama di millenium ketiga sebagai respon terhadap kecenderungan masyarakat Barat selaku representasi kebudayaan modern dengan segala kemajuan spektakulernya yang tidak memberikan apa-apa tentang arti hidup bagi umat manusia.

Sejalan dengan pandangan tersebut, Mototako Hiroike dalam Globalization and Ethic of Economy menegaskan perlunya mencari suatu alternatif agamawi sebagai supreme morality ditengah kepungan kebudayaan materi di peradaban modern. Mototako Hiroike menyatakan “and when we try to improve our lives and strive for a better future, supreme morality becomes the source of creativity and also the highest value criterion of our decision making” (Dr. AM. Saefudin, 2003)

Uraian-uraian di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa problema kehidupan dan kemanusiaan yang semakin rumit tampaknya tidak dapat diatasi dan diselesaikan oleh ideologi-ideologi dan isme-isme yang ada sekarang, manusia lantas melirik pada agama untuk menegaskan makna dan hakikat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia di tengah kehidupan modern dewasa ini yang tidak lagi memiliki horizon spiritual.

Maka dalam kaitan agama dengan kehidupan modern dengan segala kompleksitas persoalannya sebagaimana telah disinggung di awal, menghidupkan semangat Sufisme– sebagai salah satu aspek ajaran esoteris Islam (baca: agama) – sangatlah relevan diketengahkan dalam setiap gerak dan nafas kehidupan manusia di peradaban modern tidak terkecuali di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Ini dikarenakan Sufisme sangat menekankan kebersihan dan kesucian hati dengan banyak melakukan ibadah agar mencapai hubungan yang dekat dengan Allah Swt untuk memperoleh ridho dan perkenan-Nya.

Sedangkan Zuhud – yang termasuk salah satu laku Sufisme – adalah sikap hidup yang tidak mencintai pada sesuatu yang bersifat duniawi serta tergiur dan terlena oleh kesenangan duniawi. Sikap ini berakar dari penilaian bahwa dunia dengan segala kesenangannya lebih rendah nilainya daripada nilai akhirat atau kepada Tuhan Yang Maha Baik. Dalam ajaran Sufisme (tasawuf) positif seseorang tentunya tidak harus lari dari dunia, melawan dunia dan membenci dunia. Karena dalam Islam, dunia bukanlah sebuah maya, sebuah khayalan yang hanya ada dalam angan-angan. Dunia adalah sebuah realitas yang benar-benar harus dihadapi dengan penuh tanggung jawab, diisi dengan ibadah dalam rangka melaksanakan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Adapun konsep ibadah sebagaimana dimaksud mengandung dimensi yang amat luas, tidak hanya berupa pengabdian dan kebaktian kepada Tuhan saja, tetapi meliputi segala perbuatan baik yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan alam sekitar (Mahmud Sujhuti, 2001).

Itulah semangat Sufisme Islam yang seharusnya dijadikan acuan untuk mengatasi krisis kehidupan manusia. Hal ini pula yang diyakini pula oleh Intelektual Barat Terkemuka bernama Arnold J.Toynbee dalam tulisannya Surviving the Future – sebagaimana dikutip Dr. Adaby Darban – dengan menegaskan bahwa justeru di dalam Islam terdapat beberapa ajaran yang bisa meredam manusia dari kerapuhan dunia di masa mendatang. Pertama, ada konsep eskatologis bahwa manusia itu akan hidup di akhirat. Kedua, hidup di dunia hendaknya survival dan hubungan dengan sesama manusia itu baik. Ketiga, sesama manusia harus berbuat baik dan terakhir, tidak boleh membuat kerusakan di muka bumi. Ini Konsep.

Persoalannya adalah seberapa besar niat, keinginan dan komitmen kita untuk mengaktualisasikannya di dalam kehidupan masyarakat di peradaban modern dewasa ini?

Bogornews--- Senin, 07-April-2008, 20:09:57

Membumikan Etika Agama di Ranah Politik Indonesia

Oleh: Achmad Ubaidillah, S.Hum

Dewasa ini begitu semarak kajian ilmiah yang menyoroti dan menganalisis agama dari berbagai aspek tertentu. Dimulai dari kajian keagamaan (religious studies) yang dilakukan Stark dan Glock yang mengkaji dimensi-dimensi keberagamaan; Geertz meninjau agama sebagai sistem budaya; Alfort tentang agama dan politik; Durkheim dan Weber yang memaparkan peran dan posisi agama dalam masyarakat dan masih banyak kajian lain terkait dengan kajian keagamaan dari berbagai perspektif yang berbeda-beda (Mahmud Sujhuti, 2001).

Dari sekian banyak kajian dengan ruang lingkup dan perspektif yang amat luas, penulis ingin mengetengahkan pemikiran mengenai pentingnya etika agama (baca: Islam) di ranah politik Indonesia. Pemikiran ini bertolak dari kategorisasi pemikiran yang pernah dirumuskan oleh Dr. Soedjatmoko berdasarkan pandangan para cendekiawan mengenai tanggungjawab dan fungsi agama sebagai landasan spiritual, etik dan moral bagi pembangunan umat manusia. Seperti halnya pernyataan terkemuka dari Daniel Bell yang menyebutkan besarnya daya responsi agama secara moral terhadap persoalan-persoalan modern dewasa ini. Hal ini menguatkan pandangan tentang peran dan posisi strategis agama sebagai jalan keluar untuk menyelamatkan manusia dan peradabannya dari kerapuhan tatanan dunia sebagaimana pernah diungkapkan Arnold Toynbee dalam A Study of History (Ibid, 2001).

Namun, pada kenyataan historis, agama di Indonesia belum sepenuhnya berhasil mengaktualisasikan potensi profetiknya untuk perubahan yang signifikan. Kenyataan ini lebih disebabkan karena agama dalam perlakuan umum masyarakat masih diposisikan sebagai sacramental religion yakni corak keberagamaan yang bersifat ritualistik-spiritualistik. Padahal, Islam juga merupakan agama etik (ethical religion) yang berorientasi pada pengembangan etika dalam arti yang seluas-luasnya atau apa yang disebut dalam Islam dengan akhlak. Akhlak yang mengandung konotasi etik dan etos sekaligus, sehingga keberagamaan tertinggi, dengan demikian akan terukur pula dari sudut derajat manifestasi etika dan etos dalam kehidupan seorang muslim (Syamsuddin, 2001). Paradigma etik dan moral inilah yang selanjutnya akan menjadi landasan kebudayaan termasuk dalam setiap perilaku di ranah politik Indonesia yang sejatinya dipenuhi semangat mencerahkan, membimbing dan mengarahkan setiap proses politik menuju perwujudan politik yang menghargai martabat manusia dan kemanusiaan.

Paradigma semacam ini tentu berseberangan ekstrim dengan pemikiran politik Machiavellian yang memandang politik tidak terkait dengan urusan moral sebagaimana rumusannya yang terkenal Politic has no relation to moral. Meskipun dalam praktiknya, perpolitikan sungguhpun terkait usaha yang mulia memperjuangkan kesejahteraan umum, memajukan masyarakat dan melaksanakan keadilan, kerapkali jatuh pada cara-cara yang menghalalkan segala cara. Ini disebabkan - sebagaimana pernyataan Haryanto - landasan moral, nilai-nilai, hati nurani, seringkali tidak menjadi perhitungan dalam langkah-langkah politik (Haryanto, 1997). Berbagai kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) baik tindakan KKN yang berakibat terampasnya hak-hak politik dan ekonomi rakyat, pertentangan antar elit demi dan atas nama kepentingan politik dan kekuasaan kelompok serta berbagai tindakan serupa lainnya seolah menjadi hal biasa yang dapat disaksikan publik melalui berbagai media akhir-akhir ini. Kenyataan ini semakin menguatkan aksioma Lord Acton, “power tends to corrupt but absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut).

Sejalan dengan pandangan Haryanto, Sobary dalam tulisannya Superego dalam Kehidupan Politik menyatakan pandangannya mengenai fenomena politik Indonesia. Menurutnya, politik kita sekarang keras dan galak, karena ia dibangun di atas logika kekuasaan dan kekuasaan akan cenderung beroperasi demi kekuasaan sendiri. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam situasi seperti itu, politik – apalagi yang adil, jujur dan berwawasan kemanusiaan – tak mungkin berani tampil untuk mengatur tata kehidupan yang lebih terbuka, lebih baik dan berorientasi pada kebutuhan rakyat. Ia sebaliknya akan lebih tunduk dan melayani selera kekuasaan. Inilah warna politik tanpa hati nurani yang berjalan tanpa kendali. Kendali inilah yang membantu kita untuk gigih mengajukan pertanyaan moral dalam politik: kapan kekuasaan menampilkan dimensi politik yang mengatur, dan bukan mendominasi dan kapan pula superego – nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan kebenaran – bertahta sederajat mahkota Baginda (Sobary, 2003).

Disinilah momentum penting bagi penegasan kembali fungsi kritis agama dalam mengevaluasi posisi manusia dalam sistem politik, mengaplikasikan moralitas politik sekaligus mendudukkan peran agama secara fungsional dalam melaksanakan fungsi kritis mengendalikan kehidupan politik menuju kehidupan politik yang bermoral dan manusiawi (Said Tuheley (ed.), 2003). Jika upaya tersebut berhasil dilakukan maka operasionalisasi agama sebagai sistem keyakinan yang dapat menjadi bagian atau inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam masyarakat bersangkutan dan menjadi pendorong, penggerak serta pengontrol untuk anggota-anggotanya untuk tetap berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran agamanya berlangsung dengan baik.

Dalam konteks tersebut, agama – sebagaimana pendapat Syamsuddin – dalam kaitan dengan politik bersifat simbiotik, yakni keduanya saling memerlukan. Simbiosisme agama dan politik, dengan demikian mengandung arti bahwa perjuangan dalam bidang politik adalah untuk mengalokasikan etika dan moralitas agama kedalam proses politik yang ada pada suatu bangsa dalam rangka mencapai tujuan nasional bangsa tersebut (Syamsuddin, 2003). Pemikiran mengenai pentingnya etika agama di ranah politik Indonesia dengan mengetengahkan simbiosisme agama dan politik merupakan upaya merefleksikan cara pandang terhadap posisi agama dan politik dengan menggunakan pendekatan substansialistik yang tidak mempersoalkan bagaimana bentuk atau format dari sebuah negara tetapi lebih memusatkan perhatian kepada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama.

Jauh sebelum lahirnya pandangan tersebut, ada pula para pemikir Islam di era lampau yang dikategorikan berada dalam paradigma yang menyatakan agama dan politik (baca: negara) sebagai suatu yang saling terkait dan berhubungan (simbiotik) antar lain: Ibnu Taimiyah, Al-Mawardi dan Al-Ghozali. Keterkaitan ini didasarkan pada argumen bahwa negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral dan begitu pula sebaliknya (Romli, 2006). Pencarian filosofis akan watak dari paradigma semacam ini sebenarnya pernah juga dilakukan sekelompok filosof bawah tanah yang dikenal dengan sebutan “akhwan al-Safa” yang mengetengahkan prinsip-prinsip masyarakat utama yang dipandang sebagai tujuan akhir dari rezim politik dimana politik harus diselenggarakan dengan dan bermuara pada etika (akhlak).

Karena menurut mereka akhlak adalah politik kejiwaan (siyasat al-nafs) yang merupakan landasan bagi semua politik. Konsep masyarakat utama ini – meminjam Syamsuddin – merupakan elaborasi mendalam untuk mengikuti dan mengembangkan konsep madinah yang pernah diterapkan Rasulullah yang kini identik dengan konsep “masyarakat madani”. Suatu masyarakat yang ditandai adanya sistem sosial yang dibangun di atas fondasi sosial yang kokoh dan etis di satu sisi dan fondasi politik yang adil dan demokratis di sisi yang lain. Oleh karena itu, meskipun madinah merupakan model yang baik yang mengandung nilai-nilai ideal pada masanya di abad ke-7, namun, nilai-nilai luhur tersebut tetap memiliki relevansi untuk terus diaktualisasi dan dikontekstualisasi dalam kehidupan politik Indonesia di abad 21.

Dengan ini kita sadar, betapa pentingnya membangkitkan kembali dan menerapkan etika agama di ranah politik Indonesia dengan segala dinamika dan kompleksitas permasalahannya.

Bogornews--- Rabu, 27-Februari-2008, 20:17:57

Merindukan Politik Bermoral: Refleksi Seabad Mohammad Natsir

Oleh: Achmad Ubaidillah, S.Hum

Sepeninggal Soeharto dari panggung kekuasaan, pelbagai perubahan mewarnai wajah kehidupan politik Indonesia kontemporer. Demokratisasi mengalami penguatan luar biasa yang nyaris tidak terjadi di era kepemimpinan hegemonik orde baru. Demokrasi – meminjam Anas Urbaningrum – meskipun bukan satu-satunya jalan untuk mewujudkan satu tatanan masyarakat yang ideal, setidaknya merupakan jalan terbaik yang harus dilalui untuk menuju tujuan ideal tersebut. Namun, yang tidak kalah penting dari sekedar demokrasi prosedural adalah bagaimana bangsa ini mampu bertindak sesuai dengan budaya demokrasi.

Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sikap, watak dan perilaku yang merefleksikan nilai-nilai demokrasi merupakan barang mewah atau mahluk asing yang jarang dilihat dan dirasakan oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Mengingat masih dominannya budaya kekerasan, pengagungan pada politik figur, sikap egoisme politik, komunalisme kelompok, korupsi berjamaah, mafia peradilan, perselingkuhan, intrik serta sulitnya mencari sosok negarawan tetap menjadi sekelumit persoalan yang muncul di Indonesia yang terlanjur di juluki sebagai salah satu Negeri Demokrasi terbesar di dunia.

Dalam kondisi demikian, tentu kita perlu kembali melihat suasana politik Indonesia di awal kemerdekaan. Masa dimana para politisi berkhidmat sekuat-kuatnya untuk Indonesia. Mereka menghidupkan politik bukan mencari penghidupan dari politik, meskipun tentu saja ada sejumlah kecil politisi yang berperilaku tidak umum di masa itu. Mencermati semangat luhur tersebut, sangat beralasan jika seorang Indonesianis terkemuka, Daniel S Lev, berkali-kali mengingatkan generasi muda Indonesia untuk mempelajari semangat berdemokrasi serta kehidupan politik yang bersih dan bersahaja dengan bercermin pada masa demokrasi di era 1950-an. Menurutnya, tidak perlu bangsa ini melihat jauh ke Eropa atau Amerika untuk mempelajari semangat berdemokrasi. Fakta sejarah ini menunjukan bahwa kita memiliki sejarah politik yang indah sekaligus mengagumkan.

Adalah Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993), politisi sekaligus intelektual Islam terkemuka yang merepresentasikan kegairahan politik moral serta keteguhan memegang ideologi partai di awal kemerdekaan. Ia hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai. Ia hidup ketika perbedaan tidak menjadi alasan untuk memecah belah bangsa karena pluralisme pada zaman itu merupakan keniscayaan sejarah yang biasa (Tempo, 2008).

Mendengar nama Mohammad Natsir, saya langsung teringat apa yang pernah disampaikan oleh paman saya perihal kedatangan Natsir secara incognito ke Pagentongan untuk bersilaturahmi dengan KH. Tubagus Muhammad Falak (1842 – 1972) di kediamannya. Keduanya bertemu ketika arus perdebatan di antara kalangan modernis dan tradisionalis cukup mengemuka di Indonesia. Sebagai tokoh besar Islam, Natsir memang telah dikenal sebagai sosok yang tak pernah sepi dari sahabat dan guru dengan beragam karakter serta aliran politik dan keagamaannya. Pertemuannya dengan KH. Tubagus Muhammad Falak, tidak terlepas dari ikatan historis di antara kedua tokoh dari dua generasi yang berbeda namun memiliki kesamaan baik dalam hal mengedepankan moralitas dan etika profetik di tengah-tengah masyarakat maupun dalam aktifitas kebangsaan di Indonesia. KH. Tubagus Muhammad Falak memang telah tercatat dalam sejarah sebagai salah seorang pemimpin rohani laskar Hizbullah yang didirikan oleh Masyumi – partai yang hampir identik dengan Natsir – disamping nama-nama lainnya seperti KH. Wahab Hasbullah, Jombang dan KH. Abbas, Buntet. Mohammad Natsir, sebagai tokoh Masyumi adalah satu dari sederet Founding Father yang pernah berinteraksi secara intensif dengan KH. Tubagus Muhammad Falak di samping nama-nama lain seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminoto, Ir. Soekarno, KH.Wahid Hasyim.

Pertemuannya dengan kiai kharismatik NU berdarah Banten tersebut memperlihatkan bahwa sebagai pejuang politik Islam yang gigih Natsir memang telah dikenal luas sebagai penganjur terdepan pergaulan multikultural dan multi ideologi. Polemiknya yang sangat keras dengan Soekarno, tidak berarti menghilangkan persaudaraan antara keduanya. Bahkan Natsir juga berdebat sangat keras dengan D. N. Aidit, namun itu tidak menghalangi sikapnya untuk tetap menjaga hubungan baik.

Keakraban penuh warna ini ditunjukan pula oleh Natsir terhadap tokoh nasional lainnya dari Partai Katolik, I.J. Kasimo dan F.S. Hariyadi serta tokoh Partai Kristen Indonesia, J.Leimena dan A.M.Tambunan. Sehingga, tidaklah mengherankan jika pada saat pengajuan Mosi Integral, sebagai karya utama Natsir sebagai Bapak Bangsa, dalam sidang Parlemen Republik Indonesia Serikat pada 3 April 1950, justeru tokoh-tokoh non muslim yang tegak dibelakangnya. Beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1950, Ir. Soekarno mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, suatu momentum bersejarah yang dikenang sebagai proklamasi kedua Republik Indonesia. Dengan mosi integralnya – meminjam Amien Rais – Natsir telah menunjukan keteladannya yang tinggi bagaimana menjadi seorang pemimpin bangsa yang lebih mengedepankan wawasan dan moral yang jernih, konsistensi, persistensi, kemampuan berkomunikasi dan berjiwa besar. Inilah semangat besar Natsir yang mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan, seperti pernah dijelaskan olehnya kepada Majalah Editor 1988, sebagaimana dilansir oleh Tempo (2008), “Untuk kepentingan bangsa, ujarnya, “para politikus tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita”.

Tidak kalah menarik dengan sikap-sikap di atas, terdapat sikap lain yang menguatkan keteladanan Natsir sebagai pemimpin bangsa, yakni kesederhanaan dan kebersahajaannya. Posisinya sebagai Perdana Menteri, 3 kali menjabat Menteri penerangan RI di kabinet Sutan Syahrir dan 1 kali di kabinet Mohammad Hatta, justeru tidak mengubah gaya hidup dan perilaku Natsir yang jujur, sederhana dan bersahaja. Sebagai seorang politisi, Natsir sangat jauh dari kesan elitis. Baginya, kekuasaan bukan momentum “aji mumpung” untuk memperkaya diri dan keluarganya. Bahkan ketika menjadi ketua Fraksi Masyumi, Natsir pernah menolak secara halus pemberian mobil mewah dari seorang pengusaha karena menurutnya itu bukan haknya. Padahal dirumahnya yang sederhana Natsir hanya memiliki sebuah mobil biasa. Pola hidup jujur dan sederhana sebagai pemimpin bangsa ini tentu begitu kontras jika dibandingkan dengan kehidupan para politisi Indonesia dewasa ini, terlebih gambaran kehidupan politik Indonesia yang diwarnai oleh beragam skandal beruntun baik di era orde baru maupun di era reformasi sekarang ini. Meskipun, tentunya, tidak semua politisi bermoral rendah. Masih ada di antara mereka yang tetap menjunjung moralitas dan etika politik.

Kejujuran dan konsistensi sikap ini pula yang menyebabkan Natsir harus berseberangan dengan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Keterlibatannya dalam PRRI tidak lebih merupakan refleksi kekecewaan Natsir tehadap kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter serta dalam usaha melawan komunisme di Indonesia. Begitu pula di era Soeharto, Natsir kembali menentang perilaku otoriter kepemimpinan Soeharto dengan bergabung di petisi 50 yang di cap sebagai musuh utama pemerintah Soeharto sehingga Natsir harus menanggung konsekuensi yang cukup berat. Sikap ini jelas merefleksikan keberanian Natsir dalam melakukan kritik dan koreksi terhadap perilaku politik yang tidak sejalan dengan Islam dan demokrasi.

Islam dan demokrasi memang lekat dengan prinsip berpolitik Natsir yang disebut-sebut oleh seorang Sarjana Barat terkemuka, Herbert Feith sebagai pelopor constitutional democracy. Natsir memang sering disalahpahami sebagai politisi yang mencoba memaksakan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Padahal, sesungguhnya Natsir merupakan kampiun demokrasi Indonesia yang juga berbicara tentang modernisme, demokrasi, hak asasi manusia dan persamaan hak serta rasisme sebagai monster bagi kemanusiaan dan peradaban sebagaimana dinyatakan oleh Bachtiar Effendy (2008). Sehingga, jika bangsa ini jujur mengakui – meminjam Amien rais – kita akan meyakini bahwa demokrasi yang kita anut sesuai dengan UUD 1945 bukanlah demokrasi sekuler, melainkan bernuansa theodemokrasi, yakni demokrasi yang dibimbing oleh nilai-nilai agama yang sarat dengan muatan moral dan etika luhur. Disinilah letak interpretasi modern Natsir atas Islam dan demokrasi sehingga sebagai bangsa kita tidak akan terjatuh ke dalam kubangan demokrasi liberal dengan pelbagai macam impilkasi destruktifnya.

Melihat perilaku luhur sebagaimana tercermin dari pemikiran, sikap, watak dan komitmen Mohammad Natsir dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak bangsa sebagaimana tergambar di atas, tentu kita sangat merindukan munculnya Natsir baru yang akan mewarnai wajah politik Indonesia dengan etika dan moralitas yang luhur di masa kini dan di masa mendatang! Wallahu`alam