Friday, August 1, 2008

Fenomena Ayat-Ayat Cinta, Gagasan Islam, Budaya Pop, dan Ideologi Pasar

oleh: Achmad Ubaidillah, S.Hum

Luar Biasa. Inilah kata yang tepat untuk menggambarkan fenomena film Ayat-Ayat Cinta yang diadaptasi dari novel karya Habiburrahman El Shirazy. Film ini menjadi film Indonesia tersukses dan terlaris yang pernah diproduksi. Ayat-Ayat Cinta tak ubahnya sebuah mantra ampuh yang mampu menarik lebih dari 3,5 juta penonton. Bahkan film ini ditargetkan menembus angka 7 juta sebagaimana dinyatakan produser Ayat-Ayat Cinta, Manoj Punjabi di sejumlah media.

Kalangan ibu-ibu pengajian, anak muda berjilbab, eksekutif muda hingga Presiden RI, Wakil Presiden RI, sejumlah petinggi RI, para duta besar negara tetangga dan berbagai kalangan lainnya dengan latar belakang beragam adalah penonton Ayat-Ayat Cinta garapan Sutradara muda Indonesia, Hanung Bramantyo.

Film Ayat-Ayat Cinta yang diakui sang sutradara dalam blog pribadinya sebagai film dakwah memang memperlihatkan Nuansa Islam. Warna Islam muncul lewat ayat-ayat yang secara verbal kerap diucapkan Fahri dan unsur-unsur lainnya dalam film yang menunjukan warna Islam. Pada derajat tertentu – meminjam Andy Budiman – Ayat-Ayat Cinta menyajikan wajah Islam yang ramah melalui adegan ketidaksetujuan tokoh Fahri pada perlakuan kasar seorang pria Mesir pada turis Amerika di kereta listrik bawah tanah Kairo. Hal ini dimaksudkan untuk memberi dakwah, bahwa umat Islam harus hormat dan toleran kepada orang asing termasuk pemeluk agama lain.

Warna Islam juga tampak pada adegan saat Fahri menerangkan sejauh mana batasan perlakuan Suami yang dalam Islam diperbolehkan memukul Istri, jika Istri membangkang terhadap Suami. Adegan tersebut dan beberapa adegan lain memang berhasil memberikan citra positif tentang Islam yang toleran dan lembut. Namun di sisi lain, saking tolerannya, sampai-sampai hal-hal seperti khalwat (berdua-duaan dalam satu ruangan tertutup), berpandangan mata, bahkan saling menatap dalam waktu yang lama, diperlihatkan secara ekstrim. Adegan seperti Maria yang masuk ke kamar Fahri untuk memperbaiki komputer berdua, lalu beberapa kali terlihat adegan saling bertatapan baik antara Fahri dengan Maria, Noura, bahkan Aisha yang memakai cadar. Padahal adegan seperti itu tidak kita dapatkan dalam novel aslinya, mengingat Kang Abik adalah penulis Novel yang mempunyai misi untuk menjaga kemurnian akidah dan ajaran Islam dengan jalan yang lembut dan santun. (Dody Nur Andryan, 2008)

Kompromi-kompromi serta pengembangan cerita dalam film yang berbeda dengan Novel memang seringkali terjadi ketika novel atau buku difilmkan. Robinson Crusoe misalnya. Antara apa yang ditulis Daniel Defoe dengan versi filmnya terlihat berbeda. Begitu juga dengan film Gie yang diangkat dari Buku Catatan Harian Seorang Demonstran.

Kepiawaian dalam menafsirkan, mengembangkan bahkan meniadakan jalan cerita dalam novel Ayat-Ayat Cinta memperlihatkan kompromi Hanung terhadap tuntutan masyarakat dan pasar yang membuat film ini menjadi jauh dari nilai asli Novelnya. Namun sekali lagi hal seperti ini nampaknya sudah lazim dilakukan oleh banyak sutradara (Ibid, 2008).

Terkait hal tersebut, menarik kiranya mengetengahkan analisis Nur Hidayat (2008) tentang ketidaksetujuannya terhadap Hanung yang telah melakukan banyak perubahan karakter tokoh dan jalan cerita – meskipun seorang sutradara berhak melakukannya – Tapi, jika itu membuat film kehilangan roh, rasanya kok perubahan itu tidak tepat. Tapi, apa boleh buat. Inilah budaya pop kita. Film yang kehilangan roh juga sukses luar biasa, ujarnya (Blog Tempo Interaktif, 2008).

Dalam konteks film Ayat-Ayat Cinta dalam relasinya dengan budaya pop maka perlu digarisbawahi bahwa produk budaya pop selalu dihasilkan dari respon terhadap selera massa, yang “populer” pada saat itu. Budaya pop juga dapat menjadi bentuk ekspresi pada zaman itu. Seperti misalnya di Indonesia, produk budaya pop yang pernah mengalami “booming” di pasaran adalah sinetron bertemakan kehidupan remaja. Sampai-sampai novel-novel baru yang diterbitkan pun bertemakan kehidupan saat remaja. Demikian pula halnya dengan Film Ayat-Ayat Cinta yang jeli memanfaatkan peluang bisnis dari maraknya ghirah keberagamaan, khususnya di kalangan Islam. Diperkuat lagi oleh suatu realitas bahwa Indonesia, sebagai negara yang disadari atau tidak, menganut ideologi kapitalis, memang menjadi ruang yang nyaman bagi berkembangnya budaya pop dan segala bentuknya.
Jika ditelaah lebih lanjut, ini pun bukan hal baru mengingat dunia musik dan televisi telah lebih dahulu menikmati booming ini. Sebut saja album Tombo Ati yang sukses terjual dengan pencapaian komersial yang fantastik. Ditambah lagi dengan kesuksesan album religius grup musik Gigi dan Ungu yang semakin mengkonfirmasi besarnya sambutan publik atas musik bernuansa Islam. Sinetron Para Pencari Tuhan arahan Dedy Mizwar, juga menunjukkan hal serupa. Sinetron yang tayang di SCTV selama bulan puasa tahun lalu, mencapai rating tertinggi sekaligus melanjutkan sukses sebelumnya yang diraih lewat Kiamat Sudah Dekat (Andy Budiman, 2008)

Sebagai anak kandung industrialisasi, budaya pop yang terepresentasi melalui berbagai macam produk Industri seperti film, sinetron, musik dan sebagainya memang sering disertai pengomoditasan dan pengendalian di balik kuasa modal. Artinya, Ayat-Ayat Cinta yang dikemas dalam format sinema rentan terjebak pada arus pendangkalan yang disutradarai agen-agen budaya pop yang sarat muatan ideologi pasar.

Memang tidak dapat disangsikan bahwa film Ayat-Ayat Cinta merupakan manifestasi budaya pop yang muatannya turut ditentukan oleh industri-industri, salah satunya yakni industri Film. Industrialisasi inilah yang menjadi inti kebudayaan pop yang diamalkan oleh masyarakat modern (Rofiq`s Weblog, 2008). Hal itu tampak pada pelaku pasar yang jeli memanfaatkan peluang bisnis dari maraknya ghirah keberagamaan, khususnya di kalangan Islam sebagaimana ditulis oleh Andy Budiman (2008) dalam Film, Pasar dan Tabu. Di tambah lagi dengan pemilihan sejumlah artis populer yang cantik dan tampan sebagai tokoh-tokoh dalam film semakin menegaskan besarnya unsur-unsur budaya pop dalam film Ayat-Ayat Cinta. Munculnya eksploitasi atas hal semacam itu guna mendatangkan keuntungan pada akhirnya menjadi biasa kita saksikan.

Meskipun demikian, penulis ingin mengemukakan beberapa hal. Pertama, sebagai medium untuk mengekspresikan diri, budaya pop terbukti berhasil membuat hasil kreativitas manusia dapat dinikmati oleh semua golongan tidak terkecuali film Ayat-Ayat Cinta yang telah membawa pesan moral dan agama. Kedua, film Ayat-Ayat Cinta telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan budaya pop Indonesia khususnya di tengah menjamurnya film-film nasional yang bertema horor dan hedonisme yang tidak memberikan arti apapun bagi perkembangan masyarakat. Ketiga, dengan memanfaatkan instrumen budaya pop, film Ayat-Ayat Cinta bisa menjadi budaya tandingan terhadap hegemoni kapitalisme global yang berupaya menyeragamkan selera masyarakat dunia dengan ikon-ikon budaya barat. Terakhir, penulis merasa salut atas proses kreatif yang telah dilakukan Hanung Bramantyo dan semoga menjadi inspirasi bagi sineas-sineas baru di Indonesia untuk membuat karya yang lebih baik dari Hanung Bramantyo dan sineas-sineas pendahulu lainnya. Yang tidak kalah penting adalah memiliki komitmen untuk memberikan penyadaran dan pencerahan bagi masyarakat. Semoga!!!

Bogornews--- Rabu, 02-April-2008, 14:53:10

No comments: