Friday, August 1, 2008

Merindukan Politik Bermoral: Refleksi Seabad Mohammad Natsir

Oleh: Achmad Ubaidillah, S.Hum

Sepeninggal Soeharto dari panggung kekuasaan, pelbagai perubahan mewarnai wajah kehidupan politik Indonesia kontemporer. Demokratisasi mengalami penguatan luar biasa yang nyaris tidak terjadi di era kepemimpinan hegemonik orde baru. Demokrasi – meminjam Anas Urbaningrum – meskipun bukan satu-satunya jalan untuk mewujudkan satu tatanan masyarakat yang ideal, setidaknya merupakan jalan terbaik yang harus dilalui untuk menuju tujuan ideal tersebut. Namun, yang tidak kalah penting dari sekedar demokrasi prosedural adalah bagaimana bangsa ini mampu bertindak sesuai dengan budaya demokrasi.

Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sikap, watak dan perilaku yang merefleksikan nilai-nilai demokrasi merupakan barang mewah atau mahluk asing yang jarang dilihat dan dirasakan oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Mengingat masih dominannya budaya kekerasan, pengagungan pada politik figur, sikap egoisme politik, komunalisme kelompok, korupsi berjamaah, mafia peradilan, perselingkuhan, intrik serta sulitnya mencari sosok negarawan tetap menjadi sekelumit persoalan yang muncul di Indonesia yang terlanjur di juluki sebagai salah satu Negeri Demokrasi terbesar di dunia.

Dalam kondisi demikian, tentu kita perlu kembali melihat suasana politik Indonesia di awal kemerdekaan. Masa dimana para politisi berkhidmat sekuat-kuatnya untuk Indonesia. Mereka menghidupkan politik bukan mencari penghidupan dari politik, meskipun tentu saja ada sejumlah kecil politisi yang berperilaku tidak umum di masa itu. Mencermati semangat luhur tersebut, sangat beralasan jika seorang Indonesianis terkemuka, Daniel S Lev, berkali-kali mengingatkan generasi muda Indonesia untuk mempelajari semangat berdemokrasi serta kehidupan politik yang bersih dan bersahaja dengan bercermin pada masa demokrasi di era 1950-an. Menurutnya, tidak perlu bangsa ini melihat jauh ke Eropa atau Amerika untuk mempelajari semangat berdemokrasi. Fakta sejarah ini menunjukan bahwa kita memiliki sejarah politik yang indah sekaligus mengagumkan.

Adalah Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993), politisi sekaligus intelektual Islam terkemuka yang merepresentasikan kegairahan politik moral serta keteguhan memegang ideologi partai di awal kemerdekaan. Ia hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai. Ia hidup ketika perbedaan tidak menjadi alasan untuk memecah belah bangsa karena pluralisme pada zaman itu merupakan keniscayaan sejarah yang biasa (Tempo, 2008).

Mendengar nama Mohammad Natsir, saya langsung teringat apa yang pernah disampaikan oleh paman saya perihal kedatangan Natsir secara incognito ke Pagentongan untuk bersilaturahmi dengan KH. Tubagus Muhammad Falak (1842 – 1972) di kediamannya. Keduanya bertemu ketika arus perdebatan di antara kalangan modernis dan tradisionalis cukup mengemuka di Indonesia. Sebagai tokoh besar Islam, Natsir memang telah dikenal sebagai sosok yang tak pernah sepi dari sahabat dan guru dengan beragam karakter serta aliran politik dan keagamaannya. Pertemuannya dengan KH. Tubagus Muhammad Falak, tidak terlepas dari ikatan historis di antara kedua tokoh dari dua generasi yang berbeda namun memiliki kesamaan baik dalam hal mengedepankan moralitas dan etika profetik di tengah-tengah masyarakat maupun dalam aktifitas kebangsaan di Indonesia. KH. Tubagus Muhammad Falak memang telah tercatat dalam sejarah sebagai salah seorang pemimpin rohani laskar Hizbullah yang didirikan oleh Masyumi – partai yang hampir identik dengan Natsir – disamping nama-nama lainnya seperti KH. Wahab Hasbullah, Jombang dan KH. Abbas, Buntet. Mohammad Natsir, sebagai tokoh Masyumi adalah satu dari sederet Founding Father yang pernah berinteraksi secara intensif dengan KH. Tubagus Muhammad Falak di samping nama-nama lain seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminoto, Ir. Soekarno, KH.Wahid Hasyim.

Pertemuannya dengan kiai kharismatik NU berdarah Banten tersebut memperlihatkan bahwa sebagai pejuang politik Islam yang gigih Natsir memang telah dikenal luas sebagai penganjur terdepan pergaulan multikultural dan multi ideologi. Polemiknya yang sangat keras dengan Soekarno, tidak berarti menghilangkan persaudaraan antara keduanya. Bahkan Natsir juga berdebat sangat keras dengan D. N. Aidit, namun itu tidak menghalangi sikapnya untuk tetap menjaga hubungan baik.

Keakraban penuh warna ini ditunjukan pula oleh Natsir terhadap tokoh nasional lainnya dari Partai Katolik, I.J. Kasimo dan F.S. Hariyadi serta tokoh Partai Kristen Indonesia, J.Leimena dan A.M.Tambunan. Sehingga, tidaklah mengherankan jika pada saat pengajuan Mosi Integral, sebagai karya utama Natsir sebagai Bapak Bangsa, dalam sidang Parlemen Republik Indonesia Serikat pada 3 April 1950, justeru tokoh-tokoh non muslim yang tegak dibelakangnya. Beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1950, Ir. Soekarno mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, suatu momentum bersejarah yang dikenang sebagai proklamasi kedua Republik Indonesia. Dengan mosi integralnya – meminjam Amien Rais – Natsir telah menunjukan keteladannya yang tinggi bagaimana menjadi seorang pemimpin bangsa yang lebih mengedepankan wawasan dan moral yang jernih, konsistensi, persistensi, kemampuan berkomunikasi dan berjiwa besar. Inilah semangat besar Natsir yang mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan, seperti pernah dijelaskan olehnya kepada Majalah Editor 1988, sebagaimana dilansir oleh Tempo (2008), “Untuk kepentingan bangsa, ujarnya, “para politikus tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita”.

Tidak kalah menarik dengan sikap-sikap di atas, terdapat sikap lain yang menguatkan keteladanan Natsir sebagai pemimpin bangsa, yakni kesederhanaan dan kebersahajaannya. Posisinya sebagai Perdana Menteri, 3 kali menjabat Menteri penerangan RI di kabinet Sutan Syahrir dan 1 kali di kabinet Mohammad Hatta, justeru tidak mengubah gaya hidup dan perilaku Natsir yang jujur, sederhana dan bersahaja. Sebagai seorang politisi, Natsir sangat jauh dari kesan elitis. Baginya, kekuasaan bukan momentum “aji mumpung” untuk memperkaya diri dan keluarganya. Bahkan ketika menjadi ketua Fraksi Masyumi, Natsir pernah menolak secara halus pemberian mobil mewah dari seorang pengusaha karena menurutnya itu bukan haknya. Padahal dirumahnya yang sederhana Natsir hanya memiliki sebuah mobil biasa. Pola hidup jujur dan sederhana sebagai pemimpin bangsa ini tentu begitu kontras jika dibandingkan dengan kehidupan para politisi Indonesia dewasa ini, terlebih gambaran kehidupan politik Indonesia yang diwarnai oleh beragam skandal beruntun baik di era orde baru maupun di era reformasi sekarang ini. Meskipun, tentunya, tidak semua politisi bermoral rendah. Masih ada di antara mereka yang tetap menjunjung moralitas dan etika politik.

Kejujuran dan konsistensi sikap ini pula yang menyebabkan Natsir harus berseberangan dengan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Keterlibatannya dalam PRRI tidak lebih merupakan refleksi kekecewaan Natsir tehadap kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter serta dalam usaha melawan komunisme di Indonesia. Begitu pula di era Soeharto, Natsir kembali menentang perilaku otoriter kepemimpinan Soeharto dengan bergabung di petisi 50 yang di cap sebagai musuh utama pemerintah Soeharto sehingga Natsir harus menanggung konsekuensi yang cukup berat. Sikap ini jelas merefleksikan keberanian Natsir dalam melakukan kritik dan koreksi terhadap perilaku politik yang tidak sejalan dengan Islam dan demokrasi.

Islam dan demokrasi memang lekat dengan prinsip berpolitik Natsir yang disebut-sebut oleh seorang Sarjana Barat terkemuka, Herbert Feith sebagai pelopor constitutional democracy. Natsir memang sering disalahpahami sebagai politisi yang mencoba memaksakan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Padahal, sesungguhnya Natsir merupakan kampiun demokrasi Indonesia yang juga berbicara tentang modernisme, demokrasi, hak asasi manusia dan persamaan hak serta rasisme sebagai monster bagi kemanusiaan dan peradaban sebagaimana dinyatakan oleh Bachtiar Effendy (2008). Sehingga, jika bangsa ini jujur mengakui – meminjam Amien rais – kita akan meyakini bahwa demokrasi yang kita anut sesuai dengan UUD 1945 bukanlah demokrasi sekuler, melainkan bernuansa theodemokrasi, yakni demokrasi yang dibimbing oleh nilai-nilai agama yang sarat dengan muatan moral dan etika luhur. Disinilah letak interpretasi modern Natsir atas Islam dan demokrasi sehingga sebagai bangsa kita tidak akan terjatuh ke dalam kubangan demokrasi liberal dengan pelbagai macam impilkasi destruktifnya.

Melihat perilaku luhur sebagaimana tercermin dari pemikiran, sikap, watak dan komitmen Mohammad Natsir dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak bangsa sebagaimana tergambar di atas, tentu kita sangat merindukan munculnya Natsir baru yang akan mewarnai wajah politik Indonesia dengan etika dan moralitas yang luhur di masa kini dan di masa mendatang! Wallahu`alam

No comments: