Oleh: Achmad Ubaidillah, S.Hum
Dewasa ini begitu semarak kajian ilmiah yang menyoroti dan menganalisis agama dari berbagai aspek tertentu. Dimulai dari kajian keagamaan (religious studies) yang dilakukan Stark dan Glock yang mengkaji dimensi-dimensi keberagamaan; Geertz meninjau agama sebagai sistem budaya; Alfort tentang agama dan politik; Durkheim dan Weber yang memaparkan peran dan posisi agama dalam masyarakat dan masih banyak kajian lain terkait dengan kajian keagamaan dari berbagai perspektif yang berbeda-beda (Mahmud Sujhuti, 2001).
Dari sekian banyak kajian dengan ruang lingkup dan perspektif yang amat luas, penulis ingin mengetengahkan pemikiran mengenai pentingnya etika agama (baca: Islam) di ranah politik
Namun, pada kenyataan historis, agama di
Paradigma semacam ini tentu berseberangan ekstrim dengan pemikiran politik Machiavellian yang memandang politik tidak terkait dengan urusan moral sebagaimana rumusannya yang terkenal Politic has no relation to moral. Meskipun dalam praktiknya, perpolitikan sungguhpun terkait usaha yang mulia memperjuangkan kesejahteraan umum, memajukan masyarakat dan melaksanakan keadilan, kerapkali jatuh pada cara-cara yang menghalalkan segala cara. Ini disebabkan - sebagaimana pernyataan Haryanto - landasan moral, nilai-nilai, hati nurani, seringkali tidak menjadi perhitungan dalam langkah-langkah politik (Haryanto, 1997). Berbagai kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) baik tindakan KKN yang berakibat terampasnya hak-hak politik dan ekonomi rakyat, pertentangan antar elit demi dan atas nama kepentingan politik dan kekuasaan kelompok serta berbagai tindakan serupa lainnya seolah menjadi hal biasa yang dapat disaksikan publik melalui berbagai media akhir-akhir ini. Kenyataan ini semakin menguatkan aksioma Lord Acton, “power tends to corrupt but absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut).
Sejalan dengan pandangan Haryanto, Sobary dalam tulisannya Superego dalam Kehidupan Politik menyatakan pandangannya mengenai fenomena politik
Disinilah momentum penting bagi penegasan kembali fungsi kritis agama dalam mengevaluasi posisi manusia dalam sistem politik, mengaplikasikan moralitas politik sekaligus mendudukkan peran agama secara fungsional dalam melaksanakan fungsi kritis mengendalikan kehidupan politik menuju kehidupan politik yang bermoral dan manusiawi (Said Tuheley (ed.), 2003). Jika upaya tersebut berhasil dilakukan maka operasionalisasi agama sebagai sistem keyakinan yang dapat menjadi bagian atau inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam masyarakat bersangkutan dan menjadi pendorong, penggerak serta pengontrol untuk anggota-anggotanya untuk tetap berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran agamanya berlangsung dengan baik.
Dalam konteks tersebut, agama – sebagaimana pendapat Syamsuddin – dalam kaitan dengan politik bersifat simbiotik, yakni keduanya saling memerlukan. Simbiosisme agama dan politik, dengan demikian mengandung arti bahwa perjuangan dalam bidang politik adalah untuk mengalokasikan etika dan moralitas agama kedalam proses politik yang ada pada suatu bangsa dalam rangka mencapai tujuan nasional bangsa tersebut (Syamsuddin, 2003). Pemikiran mengenai pentingnya etika agama di ranah politik
Jauh sebelum lahirnya pandangan tersebut, ada pula para pemikir Islam di era lampau yang dikategorikan berada dalam paradigma yang menyatakan agama dan politik (baca: negara) sebagai suatu yang saling terkait dan berhubungan (simbiotik) antar lain: Ibnu Taimiyah, Al-Mawardi dan Al-Ghozali. Keterkaitan ini didasarkan pada argumen bahwa negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral dan begitu pula sebaliknya (Romli, 2006). Pencarian filosofis akan watak dari paradigma semacam ini sebenarnya pernah juga dilakukan sekelompok filosof bawah tanah yang dikenal dengan sebutan “akhwan al-Safa” yang mengetengahkan prinsip-prinsip masyarakat utama yang dipandang sebagai tujuan akhir dari rezim politik dimana politik harus diselenggarakan dengan dan bermuara pada etika (akhlak).
Karena menurut mereka akhlak adalah politik kejiwaan (siyasat al-nafs) yang merupakan landasan bagi semua politik. Konsep masyarakat utama ini – meminjam Syamsuddin – merupakan elaborasi mendalam untuk mengikuti dan mengembangkan konsep madinah yang pernah diterapkan Rasulullah yang kini identik dengan konsep “masyarakat madani”. Suatu masyarakat yang ditandai adanya sistem sosial yang dibangun di atas fondasi sosial yang kokoh dan etis di satu sisi dan fondasi politik yang adil dan demokratis di sisi yang lain. Oleh karena itu, meskipun madinah merupakan model yang baik yang mengandung nilai-nilai ideal pada masanya di abad ke-7, namun, nilai-nilai luhur tersebut tetap memiliki relevansi untuk terus diaktualisasi dan dikontekstualisasi dalam kehidupan politik
Dengan ini kita sadar, betapa pentingnya membangkitkan kembali dan menerapkan etika agama di ranah politik
Bogornews--- Rabu, 27-Februari-2008, 20:17:57
No comments:
Post a Comment