Friday, August 1, 2008

Menghidupkan Semangat Sufisme di Peradaban Modern

Oleh: Achmad Ubaidillah, S.Hum

Sufisme sebagai filsafat Islam telah dirumuskan secara luas dalam berbagai pemahaman terhadap kenyataan Ilahi. Istilah sufi memiliki konotasi religius yang lebih khusus untuk menyebut mistik dari penganut ajaran Islam. Secara etimologis, kata sufi, menurut beberapa pendapat berasal dari Bahasa Arab yang artinya kemurnian. Sedangkan Al-Hujwiri dalam Kasyful Mahjub, menyatakan bahwa sufi adalah sebuah nama yang diberikan kepada wali-wali dan ahli-ahli kerohanian yang sempurna (Mahmud Sujhuti, 2001)

Mengenai pengertian sufisme, Sayyid Husein Nasr berpendapat bahwa sufisme merupakan salah satu dari jalan yang diletakan oleh Tuhan untuk menunjukan kehidupan rohani sesuai dengan ajaran Al-Quran. Sufisme menarik kembali manusia dari keadaan asfala safilin-nya yang hina dalam rangka mengembalikannya ke dalam kesempurnaan ahsan taqwim-nya. Oleh karena itu, sufisme dapat dipraktekan dalam setiap keadaan dimana manusia menemukan dirinya, dalam kehidupan tradisional maupun modern (Ibid: 2001).

Dalam sejarah Islam, kehidupan sufi sebetulnya telah dimulai sejak masa pertumbuhan awal Islam termasuk kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Contoh kehidupan sufi inilah yang kemudian dijadikan rujukan para sufi generasi selanjutnya. Namun, seiring perkembangan waktu tepatnya di era pasca kehidupan Rasulullah dan para sahabat, kondisi sosial-politik mengalami perubahan dari masa sebelumnya. Satu contoh nyata pada masa khalifah-khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan dengan sistem pemerintahan monarkinya, hidup mewah mulai meracuni masyarakat, khususnya di kalangan Istana. Dalam kondisi demikian, kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Adalah Abu Dzar Al-Ghifari, yang melancarkan kritik tajam dan menyerukan diterapkannya keadilan sosial dalam Islam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan.

Di samping itu, Sufyan Al Tsauri yang terkenal alim dalam bidang Hadist, Fiqh dan dalam kerohanian telah dikenal pula sebagai sosok yang zuhud, wara` (berhati-hati dari yang haram dan syubhat, banyak beribadah dan sanggup menentang penguasa yang dianggapnya zalim (Ensiklopedi Islam 5, 1993).

Sekelumit uraian diatas memperlihatkan bahwa kehidupan sufi disamping merupakan hasil refleksi pemaknaan ajaran esoteris Islam dengan tujuan utama ma`rifat kepada Allah juga menunjukan bahwa kaum sufi tanggap terhadap situasi sosial-politik. Kaum sufi merespon dan melakukan perlawanan spiritual ketika kondisi obyektif sosial-politik umat mengalami degradasi nilai dan penyimpangan dari ajaran normatif Islam. Dengan kata lain, ajaran sufi yang dikesankan membelakangi dunia dalam dirinya mengandung potensi sebagai gerakan moral, sebagai tanggung jawab seorang muslim menghadapi realitas sosial-politik yang tidak kondusif bagi pelaksanaan ajaran Islam (Mahmud Sujhuti, 2001) Perlawanan spiritual dan gerakan moral inilah yang tetap memiliki relevansi ruang dan waktu untuk muncul pada momen-momen tertentu, tidak terkecuali di era modernisme, era dimana hedonisme-materialisme semakin menampakan wajahnya dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.

Modernisme yang telah menjelajah sekitar tiga setengah abad sampai memasuki abad 21 serta dipandang sebagai blue print kehidupan umat manusia sejagat dewasa ini banyak mengacu pada zaman Renaisans sebagai tonggak baru peradaban modern Barat. Hegemoni dan dominasi peradaban Barat dengan tonggak humanisme-antroposentris yang didukung oleh kekuatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi kemudian menjadi cita-cita kemajuan atau the Idea of Progress yang diyakini oleh hampir seluruh bangsa di dunia dan semakin memperoleh legitimasi baru melalu idiom modernisme.

Modernisme menjadi identik dengan kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang diiringi dengan kemajuan di bidang ekonomi, demokrasi di bidang politik serta kemajuan spektakuler lainnya dalam kehidupan manusia dan kemajuan identik dengan wawasan humanisme-antroposentris dalam design kebudayaan modern. Bahkan secara ekstrem muncul pandangan bahwa modernisme identik dengan westernisme (Said Tuheley (ed.), 2003). Namun, dalam perkembangannya, modernisme semakin kehilangan kharisma ketika muncul kritik dari Posmodernisme yang melakukan dekonstruksi terhadap fenomena modernisme.

Modernisme dipandang telah mencemari dunia kemanusiaan oleh bukti sejarah bahwa kehidupan modern yang berpangkal pada humanisme-antroposentris ternyata telah melahirkan banyak tragedi kemanusiaan seperti meletusnya perang dunia I, Perang Dunia II dan berbagai peristiwa penyerangan dan kekerasan antar bangsa lainnya dengan menggunakan peralatan perang spektakuler yang telah menjadi mesin pembunuh manusia dan memporak-porandakan suatu negara.

Di samping itu, modernisme yang dicirikan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dipandang telah mampu memberikan berbagai kemudahan kepada umat manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Namun, dengan kemudahan-kemudahan itu manusia justeru cenderung berlomba-lomba pada pemenuhan kebutuhan materi yang tidak pernah ada habisnya terutama karena didorong oleh nafsu lawwamah (unsur perusak yang terkandung dalam diri manusia). Kecenderungan seperti itu telah mendorong berkembangnya sikap dan gaya hidup hedonistik-materialistik. Berbagai kejadian, tindak kekerasan, penindasan dan perlakuan yang tidak adil antarsesama, manipulasi, kasus kriminalitas yang terus meningkat seperti perampokan dan pembunuhan adalah akibat dari pola hidup materialistik yang telah kehilangan landasan spiritualnya.

Dehumanisasi dalam kehidupan manusia tersebut diperburuk dengan berjangkitnya penyakit-penyakit seperti AIDS, ketergantungan narkotika serta meluasnya kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, dan berbagai problem kemanusiaan lainnya (Dr.Tarmizi Taher, 2003). Kondisi semacam ini diperparah pula oleh satu kenyataan bahwa wajah dunia di abad 21 masih dikotori oleh kejahatan kemanusiaan yakni tindak korupsi yang dilakukan baik oleh oknum pengelola kekuasaan negara maupun elemen masyarakat diluar unsur pemerintahan. Belum lagi kemarahan alam seperti banjir, kekeringan, pencemaran lingkungan, krisis energi, pemanasan global terus melanda kehidupan manusia sebagai aktor yang turut berkontribusi atas terjadinya kemarahan alam tersebut.

Dengan peristiwa-peristiwa semacam ini, wajar saja jika cita-cita kemajuan mulai digugat dan dibongkar secara radikal dengan munculnya pertanyaan “Apakah manusia di zaman modern ini benar-benar hidup berdasarkan akal sehat yang menuju pencerahan? Bahkan memasuki abad 21, semakin nyaring pendapat yang menunjukan kecenderungan bahwa dunia modern-industrial saat ini dan kedepan menuntut alternatif seputar wawasan kemanusiaan dalam berbagai dimensinya yang fundamental. (Said Tuheley, 2003).

Modernisme yang ditopang oleh industrialisasi besar-besaran ternyata telah berujung pada kecemasan massal terhadap gejala nir-spiritual sebagai dampak dari materialisme (Zainuddin Maliki, 2001) Kondisi inilah yang antara lain memunculkan pandangan pentingnya agama sebagai “The Sacred Canopy“, agama sebagai semesta simbolik untuk memberikan perlindungan dan pemaknaan ibarat langit suci – meminjam Peter L Berger – terhadap kehidupan yang chaos atau tanpa makna. Bahkan John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990) menegaskan mengenai lahirnya harapan baru bagi kebangkitan agama di millenium ketiga sebagai respon terhadap kecenderungan masyarakat Barat selaku representasi kebudayaan modern dengan segala kemajuan spektakulernya yang tidak memberikan apa-apa tentang arti hidup bagi umat manusia.

Sejalan dengan pandangan tersebut, Mototako Hiroike dalam Globalization and Ethic of Economy menegaskan perlunya mencari suatu alternatif agamawi sebagai supreme morality ditengah kepungan kebudayaan materi di peradaban modern. Mototako Hiroike menyatakan “and when we try to improve our lives and strive for a better future, supreme morality becomes the source of creativity and also the highest value criterion of our decision making” (Dr. AM. Saefudin, 2003)

Uraian-uraian di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa problema kehidupan dan kemanusiaan yang semakin rumit tampaknya tidak dapat diatasi dan diselesaikan oleh ideologi-ideologi dan isme-isme yang ada sekarang, manusia lantas melirik pada agama untuk menegaskan makna dan hakikat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia di tengah kehidupan modern dewasa ini yang tidak lagi memiliki horizon spiritual.

Maka dalam kaitan agama dengan kehidupan modern dengan segala kompleksitas persoalannya sebagaimana telah disinggung di awal, menghidupkan semangat Sufisme– sebagai salah satu aspek ajaran esoteris Islam (baca: agama) – sangatlah relevan diketengahkan dalam setiap gerak dan nafas kehidupan manusia di peradaban modern tidak terkecuali di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Ini dikarenakan Sufisme sangat menekankan kebersihan dan kesucian hati dengan banyak melakukan ibadah agar mencapai hubungan yang dekat dengan Allah Swt untuk memperoleh ridho dan perkenan-Nya.

Sedangkan Zuhud – yang termasuk salah satu laku Sufisme – adalah sikap hidup yang tidak mencintai pada sesuatu yang bersifat duniawi serta tergiur dan terlena oleh kesenangan duniawi. Sikap ini berakar dari penilaian bahwa dunia dengan segala kesenangannya lebih rendah nilainya daripada nilai akhirat atau kepada Tuhan Yang Maha Baik. Dalam ajaran Sufisme (tasawuf) positif seseorang tentunya tidak harus lari dari dunia, melawan dunia dan membenci dunia. Karena dalam Islam, dunia bukanlah sebuah maya, sebuah khayalan yang hanya ada dalam angan-angan. Dunia adalah sebuah realitas yang benar-benar harus dihadapi dengan penuh tanggung jawab, diisi dengan ibadah dalam rangka melaksanakan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Adapun konsep ibadah sebagaimana dimaksud mengandung dimensi yang amat luas, tidak hanya berupa pengabdian dan kebaktian kepada Tuhan saja, tetapi meliputi segala perbuatan baik yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan alam sekitar (Mahmud Sujhuti, 2001).

Itulah semangat Sufisme Islam yang seharusnya dijadikan acuan untuk mengatasi krisis kehidupan manusia. Hal ini pula yang diyakini pula oleh Intelektual Barat Terkemuka bernama Arnold J.Toynbee dalam tulisannya Surviving the Future – sebagaimana dikutip Dr. Adaby Darban – dengan menegaskan bahwa justeru di dalam Islam terdapat beberapa ajaran yang bisa meredam manusia dari kerapuhan dunia di masa mendatang. Pertama, ada konsep eskatologis bahwa manusia itu akan hidup di akhirat. Kedua, hidup di dunia hendaknya survival dan hubungan dengan sesama manusia itu baik. Ketiga, sesama manusia harus berbuat baik dan terakhir, tidak boleh membuat kerusakan di muka bumi. Ini Konsep.

Persoalannya adalah seberapa besar niat, keinginan dan komitmen kita untuk mengaktualisasikannya di dalam kehidupan masyarakat di peradaban modern dewasa ini?

Bogornews--- Senin, 07-April-2008, 20:09:57

No comments: